Isak tangis ratusan orang pecah di Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Mereka meratapi anggota keluarga yang hilang dalam tragedi tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun di perairan Danau Toba, Senin (18/6/2018).
Darto (45) duduk termenung di pelabuhan itu, Rabu (21/6). Tatapannya kosong, matanya memerah. Air matanya seolah mengering karena sudah tiga hari menangis sejak mendengar kabar tenggelamnya kapal kayu dalam perjalanan dari Pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir, ke Pelabuhan Tigaras, Senin sore. Delapan anggota keluarganya yang ikut dalam pelayaran itu hingga kini belum ada kabar. Mereka menjadi bagian dari tak kurang 195 orang yang dilaporkan hilang dalam tragedi itu.
Kabar tentang kapal tenggelam itu pertama kali diperoleh Darto dari pesan Whatsapp temannya. Ia langsung teringat delapan anggota keluarganya yang sedang berlibur ke Samosir, Senin pagi. ”Saya langsung menelepon mereka satu per satu. Namun, tak satu pun telepon yang aktif. Kami sekeluarga langsung menangis sejadi-jadinya,” ujarnya.
Delapan anggota keluarga Darto yang hilang adalah Juniko (23) yang berangkat bersama istrinya Yenni (17) dan anak semata wayangnya Rikki (2 tahun 8 bulan). Lalu Doni Septian (28) dan istrinya Arin (29) serta tiga keponakan, Salama Febriana (14), Maya (14), dan Wagino (18).
Ikatan kekeluargaan mereka sangat erat karena semua tinggal bertetangga di Desa Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Simalungun. Sebelum berangkat berlibur ke Toba, mereka pamit. ”Saya sempat memaksa mereka agar naik mobil. Namun, mereka tetap naik tiga sepeda motor agar lebih mudah dapat kapal penyeberangan. Ternyata kapal itu yang membawa mereka dapat maut,” katanya.
Saat berpamitan, Darto pun mengaku ada perasaan haru melepas delapan orang itu. Keponakan, Doni Septian dan Arin, sempat ingin membawa anak semata wayangnya, Alif, yang belum genap setahun usianya. ”Saat mereka mau berangkat, nenek Alif langsung mengambil Alif dari gendongan ibunya. Ibunya sempat mengambil Alif kembali, tetapi kembali ditarik neneknya. Akhirnya, Alif tidak ikut liburan meskipun sudah sempat berpakaian rapi,” ujar Darto lagi.
Setelah mendengar kabar ada kapal tenggelam, Darto langsung berangkat ke Tigaras. Ia termenung melihat tiga sepeda motor keponakannya terpakir di Tigaras. Mereka sekeluarga pun menangis saat mendapat kabar dari juru parkir bahwa pemilik sepeda motor tidak mengambilnya sejak Senin.
Pasangan kekasih
Di sudut lain di Pelabuhan Tigaras tampak juga Suwarni (55) dan Ngatinem (48) yang berdiri di tengah terik mentari sambil terus-menerus menangis. Suwarni adalah ibu dari Ivan Rahmat Saputra (21). Ngatinem adalah ibu dari Ayu Lestari (19).
”Saya tak akan pulang sebelum jasad anak saya ketemu. Saya ingin memeluknya erat-erat untuk yang terakhir kali,” kata Suwarni, warga Kabupaten Batubara, Sumut. Ivan dan Ayu adalah pasangan kekasih yang berencana menikah setelah mereka berpacaran tujuh tahun.
Saat Ivan dan Ayu pamit berlibur ke Danau Toba, Suwarni sempat mengingatkan agar mereka tak menyeberang ke Samosir. ”Namun, saat saya telepon Senin pagi, Ivan bilang mereka sudah di kapal untuk menyeberang ke Samosir. Saya marah ke Ivan dan meminta dia agar pulang lewat jalan darat saja,” kata Suwarni. Saat mendengar kabar di televisi tentang kapal tenggelam di Danau Toba, ia langsung terkapar lemas. Apalagi, saat empat ponsel yang dibawa Ivan dan Ayu tidak aktif semua. Belakangan, Suwarni mendapat video dari teman Ivan yang menunjukkan Ivan dan Ayu sedang duduk di kapal.
Menurut Ngatinem, sebelum Ayu pergi, dia heran putrinya itu minta disuapin. ”Saya suapin dia sampai habis satu piring nasi. Perasaan saya juga haru saat menyuap anak saya. Ada apa ini, ya? Batin saya saat itu,” ujar Ngatinem.
Suwarni dan Ngatinem langsung berangkat ke Tigaras tanpa persiapan apa pun. Pakaiannya sudah tiga hari tak diganti. Mereka juga hanya bisa makan dua-tiga suap nasi. Saat malam tiba, mereka menumpang di rumah warga setempat. Mereka berharap anaknya ditemukan.
Hal serupa terjadi di Pelabuhan Simanindo. Maria Sidauruk (22) terus memandangi ponselnya dengan gelisah. Setiap ada yang menghampiri, raut wajahnya menjadi penuh harap. Namun, seketika tubuhnya kembali lemas karena kabar yang dinanti belum juga ada.
Dalam kecelakaan itu, Maria kehilangan 12 anggota keluarga. Mereka adalah suami-istri Ledikson Nainggolan-Lilis Lubis bersama tiga anak asal Jakarta serta tujuh kerabat dari keluarga Nainggolan yang tinggal di Sionggang, Kecamatan Sidamanik, Simalungun. Tiga orang di antaranya masih remaja. Mereka naik ke kapal pada Senin pukul 16.45 setelah menghadiri pesta adat Batak, Mangokal Holi atau penghormatan pada tulang-belulang leluhur mereka di Simanindo.
”Saat hendak masuk kapal pun, saya masih mencoba menahan mereka untuk bermalam di sini. Sempat ada kekhawatiran karena angin kencang. Apalagi, sepupu-sepupu saya masih betah, tetapi orangtua mereka tetap mau pulang karena mau berwisata ke Pantai Bulbul di Balige,” ujar Maria.
Hingga Kamis (21/6) malam, ratusan warga masih berkumpul di Pelabuhan Tigaras dan Pelabuhan Simanindo. Sebagian lagi beristirahat di rumah warga di kawasan pelabuhan. Mereka tidak mau kembali ke rumah sebelum menemukan anggota keluarga yang hilang.
Kamis siang, keluarga korban juga melakukan ritual adat dengan melemparkan daun sirih, tembakau, dan jeruk purut di danau. Ada pula yang menaburkan bunga. Robert Sidauruk (53), yang putra sulungnya, Hotlan P Jaya (23), belum ditemukan, berharap ke depan kejadian serupa tak terulang lagi.