JAKARTA, KOMPAS – Upaya perbaikan jalan dan jembatan akan menjadi sia-sia ketika kendaraan yang lewat dengan muatan berlebih tetap dibiarkan. Oleh karena itu, perlu dukungan dari banyak pihak serta tindakan tegas untuk mengatasinya.
“Lebih dari 65 persen kendaraan truk yang overload. Ini parah. Daya rusaknya bagi jalan bukan linier, melainkan pangkat 4. Misalnya kelebihannya 2 kali dari beban seharusnya, maka daya rusaknya menjadi 2 pangkat 4, yakni 16 kalinya,” kata Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto, Jumat (22/6/2018), di Jakarta.
Pemerintah berencana untuk meningkatkan kualitas jalan nasional dengan mekanisme ketersediaan layanan. Dua ruas jalan nasional yang akan dibangun dengan mekanisme ketersediaan layanan adalah di Sumatera Selatan (30 kilometer) dan Riau (43 km). Agar skema itu terlaksana, beban kendaraan terutama truk yang melintas mesti terukur. Dengan demikian, swasta tertarik untuk berinvestasi.
Selain itu, penggantian jembatan-jembatan tua juga mendesak dilakukan. Terlebih peristiwa ambruknya Jembatan Babat-Widang di Jawa Timur menunjukkan kemungkinan terjadinya peristiwa serupa. Namun demikian, pembangunan jembatan baru tidak akan efektif tanpa dibarengi dengan upaya penertiban muatan.
Menurut Arie, untuk rencana preservasi jalan di Riau dan Sumatera Selatan, pihaknya telah menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Perhubungan. Prinsipnya, Kementerian PUPR membangun fasilitas jembatan timbang di sana yang akan dioperasikan oleh Kementerian Perhubungan.
“Karena kami sangat diuntungkan dan sangat concern dengan hal ini, maka kami akan mendukung penuh hal itu. Kami akan coba jajaki juga untuk Jalur Pantai Utara,” ujar Arie.
Direktur Jalan Bebas Hambatan, Perkotaan dan Fasilitas Jalan Daerah Kementerian PUPR Sugiyartanto menambahkan, selain menimbulkan kerusakan, muatan yang berlebihan juga merugikan kendaraan lain. Sebab, kendaraan dengan muatan berlebih akan berjalan lamban dan menghambat laju kendaraan lain. Akibat serupa juga terjadi di jalan tol.
“Karena didesain dengan kecepatan rencana. Jika kecepatan turun, maka tingkat kemacetan tinggi. Jika kemacetan tinggi, kendaraan yang masuk ke jalan tol menjadi statis, tidak mengalir. Pendapatan di tol akhirnya turun karena kendaraan tidak mengalir,” kata Sugiyartanto.
Hal senada diungkapkan Corporate Secretary PT Jasa Marga (Persero) Tbk Agus Setiawan. Menurut Agus, selama ini sekitar 60 persen kendaraan jenis truk yang menggunakan tol membawa muatan berlebih. Akibatnya, biaya perbaikan jalan pun besar. Sementara, saat ini pemerintah mendukung angkutan logistik agar semakin efisien, salah satunya dengan integrasi jalan tol yang berimbas pada turunnya tarif truk.
“Kami berharap dengan difasilitasinya angkutan logistik sehingga membayar lebih efisien, mereka juga harus memenuhi aturan,” kata Agus.
Menurut Agus, pihaknya telah menyiapkan alat pengukur beban bergerak (weigh in motion) untuk memantau beban kendaraan yang masuk ke jalan tol. Alat tersebut menurut rencana akan di pasang di gerbang tol masuk. Namun demikian, untuk operasi penertiban terhadap truk dengan muatan berlebih, pihaknya akan bekerja sama dengan kepolisian dan dinas perhubungan setempat.