Bangun Rejo, Sejarah Nama dan Bencana
Banjir bandang yang membawa material vulkanik Gunung Raung dan kayu-kayu pepohonan memorakporandakan empat dusun di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi. Peristiwa itu membuat Raswat (80) terpekur meratapi rumahnya. Pikirannya melompat mundur ke tahun 1950-an.
Dengan tabah Raswat memunguti beberapa perabot rumah tangga miliknya dari dalam rumah yang tertimbun lumpur. Rumah berukuran 4 meter x 6 meter tersebut berdiri 5 meter dari tepian Sungai Badeng.
Air sungai yang meluap membawa serta lumpur masuk ke dalam rumah. Perabotan terendam, sebagian mengapung di atas air bercampur lumpur. Ketika banjir mulai surut, lumpur mengendap dan tertinggal di dalam rumah. Endapan lumpur mencapai 2 meter di dalam dan di luar rumah.
Tak ada perabotan yang sempat diselamatkan. Semuanya tertimbun lumpur. Hanya sepertiga rumah bagian atas yang tampak.
Jumat (22/6/2018), ketika mendung menggelayut di atas Alasmalang, Sungai Badeng meluap. Hujan di hulu sungai membuat endapan sisa erupsi Gunung Raung longsor. Material vulkanik itu terbawa ke hilir sambil menyapu dan menyeret apa pun yang ia temui. Pepohonan dan kayu-kayu yang sudah tumbang dibawa serta mengalir melalui Sungai Badeng.
Saat material sampai di Alasmalang, lumpur dan kayu-kayu tersumbat Jembatan Wonorekso yang memiliki konstruksi rendah. Akibatnya, material yang terus mengalir meluap. Banjir bandang itu menerjang 300 rumah di Dusun Bangunrejo, Wonorekso, Garit, dan Karangasem.
Tak hanya rumah-rumah di sekitaran Sungai Badeng yang terkena imbas luapan material lumpur dan kayu. Tingginya debit air membuat material tersebut juga meluap hingga menutup jalan provinsi yang menghubungkan Kabupaten Jember dan Banyuwangi.
Lalu lintas antarkedua kabupaten itu lumpuh. Perjalanan dari Banyuwangi ke Jember harus memutar melalui Jajag. Warga harus memutar 10 km untuk menghindari lokasi banjir bandang.
Sejarah Nama
Di antara timbunan lumpur itu, Raswat dibantu anaknya, Rupiah (63), memunguti beberapa perabot rumah tangga. Salah satu di antaranya toples jajanan lebaran berisi kue kering. Toples tersebut kotor bagian bawahnya saja. Banjir membuat toples tersebut mengapung sehingga tidak ikut tertimbun.
”Ini kue disediakan untuk menyuguhi tamu yang datang untuk silaturahim. Belum habis, kok yang datang justru ’tamu yang lain’,” ujar Raswat. Ia menyebut banjir sebagai tamu yang datang karena hanya tiba sebentar lalu pergi. Hanya material lumpur, kayu dan kepedihan yang tetap tinggal di rumahnya.
Kepedihan seperti ini bukan kali pertama dirasakan Raswat. Pria yang tinggal di Desa Bangunrejo sejak tahun 1950 itu menjadi saksi bencana serupa yang terjadi pada tahun 1955.
”Sekitar tahun 1955 banjir bandang juga pernah terjadi. Waktu itu, belum banyak rumah seperti sekarang. Rumah-rumah di sini juga masih gedek (dinding dari anyaman bambu). Walaupun luapannya tidak seperti sekarang, tetapi semua rumah di pinggir sungai hilang. Lha, wong gedek, nek saiki wes tembok kabeh (Maklum cuma rumah berdinding anyaman bambu, kalau sekarang sudah tembok semua),” ujarnya.
Raswat masih ingat betul kala itu tiga bangunan rumah miliknya hilang. Hanyut terbawa limpasan air sungai. Saat itu pinggiran Sungai Bandeng belum dibangun kanal. Rumah-rumah berdinding anyaman bambu berdampingan dengan sungai tak berkanal.
Bencana banjir bandang kala itu memorakporandakan warga desa. Penduduk kocar-kacir atau dalam bahasa Jawa kerap disebut morat-marit. ”Gara-gara kui, dusune dijenengi Garit. Wargane morat-marit (karena itu dusunnya disebut Dusun Garit. Warganya kocar-kacir),” ungkap Raswat.
Bencana tak cukup sekali dirasakan. Pada 1965 saat gejolak politik Indonesia memanas, rumah-rumah warga di Desa Garit dibakar pihak-pihak tak bertanggung jawab. Hampir semua rumah ludes.
Setelah kondisi politik mulai mereda. Warga mulai bangkit. Perlahan warga bergotong royong membangun kembali rumahnya. ”Mergo kui, jeneng dusun diganti Bangunrejo, nganti saiki (karena itu nama desa diubah menjadi Bangunrejo,” kata Raswat.
Hingga akhirnya bencana ketiga terjadi Jumat (22/6/2018) siang. Kepada Kompas, Rupiah mengatakan, warga sebenarnya sudah mendapat peringatan dari alam. Sekitar seminggu sebelum memasuki bulan Ramadhan, banjir juga terjadi di sana. Namun, tidak sebesar kali ini. Dan kini, tepat seminggu setelah bulan Ramadhan berlalu, banjir besar memorakporandakan Dusun Bangunrejo dan tiga dusun lainnya.
Entah setelah ini, apakah Bangunrejo akan kembali berganti nama? Di sela-sela membersihkan perabotan, Rupiah menimpali, ”Wes, iki penutup. Ojo ono maneh (Sudah ini penutup. Jangan ada lagi),” ujarnya.
Hingga kemarin malam tercatat 650 keluarga dengan total jumlah jiwa mencapai 1.300 orang menjadi korban terdampak banjir bandang. Sedikitnya 300 rumah dan 500 hektar lahan persawahan diterjang banjir.
Longsoran Gunung Raung
Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Agus Budianto mengatakan ada dua faktor penyebab banjir bandang yang membawa material vulkanik Gunung Raung. Kedua Faktor tersebut ialah banyaknya material lepas di lereng raung dan adanya anomali cuaca di hulu Sungai Badeng.
”Material yang terbawa banjir memang material vulkanik Gunung Raung dari sisa letusan tahun 2014 dan letusan sebelum-sebelumnya. Namun, tidak dapat disebut lahar dingin karena tidak ada aktivitas vulkanik yang terjadi saat ini. Sebagian besar material itu tersapu banjir yang terjadi akibat peningkatan curah hujan yang tiba-tiba. Dalam dua bulan terakhir curah hujan di Gunung Raung rendah, tetapi dua hari terakhir meningkat drastis,” ujarnya.
PVMBG sudah memetakan, jika terjadi luapan lahar, alirannya akan mengalir di Sungai Badeng. Agus mengatakan, dalam peta kawasan rawan bencana Sungai Badeng yang dilalui banjir bandang merupakan aliran sungai yang dilalui lahar dingin.
Agus menambahkan, ada sekitar 2 juta meter kubik material vulkanik yang tersebar di lereng Gunung Raung. Angka tersebut didasarkan pada perkiraan jumlah abu yang terlontar saat letusan terakhir Gunung Raung tahun 2014. Material Vulkanik tersebut tidak tertumpuk pada satu titik, tetapi tersebar di sekitaran Lereng Gunung Raung.
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ida Bagus Putera Parthama, di Jakarta, menyebutkan peningkatan limpasan permukaan itu jauh melebihi kapasitas pada daerah-daerah tangkapan air (DTA). Limpasan permukaan di DTA Badeng mencapai 26,16 meter kubik per detik (kapasitas 3,8 meter kubik per detik), DTA Kumbo 41,86 meter kubik per detik (kapasitas 5,2 meter kubik per detik), dan DTA Binaung 37,36 meter kubik per detik (kapasitas 5,3 meter kubik per detik).
“Banjir bandang juga terjadi akibat adanya longsor di kawasan hulu yang menyumbat aliran sungai (terbentuk bendungan alami),” kata Putera. Kondisi ini mengakibatkan “bendungan” itu tak dapat menahan air dan mengakibatkan banjir bandang saat curah hujan tinggi.
Dari sisi analisis tutupan lahan tahun 2017, ia menyebutkan luas penutupan hutan di bagian hulu masih tergolong baik, yaitu 60 persen (9.785 ha) dari total luas penutupan lahan. Luas kategori lahan kritis dan sangat kritis sebesar 2.078,1 ha.
Analisis tersebut sejalan dengan pernyataan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang membantah bahwa banjir bandang tersebut akibat ilegal loging atau alih fungsi lahan. Hal itu didasari pada pohon-pohon yang terseret banjir berupa pohon-pohon utuh bukan potongan-potongan pohon sisa tebangan.
Banjir ini murni karena faktor alam. Tingginya debit air semakin diperparah dengan adanya longsoran material Gunung Raung yang membawa serta pohon-pohon dan kayu-kayu yang telah mati,” ujarnya.