Meskipun memperebutkan ”trofi”, tetapi arena politik itu bukan Piala Dunia. Di Piala Dunia, semua pemain bertarung berebut nomor satu untuk kebanggaan dan kebahagiaan bangsa dan negaranya. Namun, di arena politik, pertarungan berebut nomor satu tidak terlihat untuk kebanggaan dan kebahagiaan rakyat. Sebab, kekuasaan menjadi destinasi final politikus. Karena itu, Piala Dunia 2018 yang berlangsung di Rusia saat ini benar-benar menjadi pesta kegembiraan miliaran penduduk dunia. Bagi kita di Indonesia, Piala Dunia 2018 tak ubahnya oase di tengah kesumpekan politik.
Dari arena sepak bola terakbar di dunia itu banyak pelajaran yang dapat dipetik. Sepak bola adalah kisah tentang semangat pantang menyerah, kerja keras, soliditas, kerja sama tim, keunggulan, kebanggaan, harga diri, martabat. Sebagaimana halnya olahraga yang bertumpu pada tim, ”Sepak bola itu seperti kehidupan: membutuhkan persaudaraan, penyangkalan diri, kerja keras, pengorbanan, dedikasi, dan respek terhadap otoritas,” kata penulis Vince Lombardi Jr, putra pelatih American football legendaris, Vince Lombardi (1913-1970).
Di lapangan hijau, semua pemain terlihat ngotot, tidak mau kalah, saling men-tackle, saling menjegal, saling dorong, saling sikut, juga saling menginjak kaki lawan. Bukan fisik saja yang terlihat full body contact. Para pemain juga saling berteriak, mengumpat, uring-uringan, kesal, bahkan dengan mata melotot sambil menunjuk-nunjuk, termasuk ketika merasa putusan wasit ”tidak adil”. Bahkan, pemain legendaris asal Perancis sekelas Zinedine Zidane tak mampu menahan emosi saat ”menanduk” dada Marco Materazzi akibat kata-kata kasar yang dilontarkan pemain belakang Italia itu pada ajang final Piala Dunia 2006 di Jerman itu.
Apa pun ekspresi kekesalan pemain di lapangan, semuanya berhenti setelah wasit sebagai ”hakim” mengambil keputusan. Itulah sepak bola. Sejengkel apa pun pemain, tidak boleh melewati batas aturan dan etika sepak bola. Bukan hanya sanksi hukum yang menjadi peringatan untuk pemain, tetapi mereka harus menumbuhkan sportivitas agar sepak bola tetap menjadi permainan yang hidup dan berwibawa. Seorang pemain sepak bola sejati tentu tidak akan mau masa depannya terusir dari lapangan hijau. Zidane yang amat marah pun patuh begitu wasit mengganjarnya dengan kartu merah.
Apakah kepatuhan pemain sepak bola yang sama-sama ditonton dalam Piala Dunia 2018 ini akan menular ke pemain-pemain politik, yang empat hari lagi bertarung dalam ”piala” pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak? Namun, pilkada pada 27 Juni 2018 memang bukan Piala Dunia 2018. Buktinya, di gelanggang politik dewasa ini paling dominan adalah kontradiksi-kontradiksi. Penunjukan Komisaris Jenderal M Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat yang dilantik 18 Juni lalu menimbulkan kegaduhan. Setiap kubu politik yang berbeda terlibat adu argumen serta juga punya sandaran dasar hukum masing-masing.
Pengangkatan Iriawan diduga melanggar Undang-undang Nomor 2/2002 tentang Kepolisian, UU No 16/2016 tentang Pilkada, dan UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, juga Peraturan Pemerintah No 11/2017. Iriawan atau akrab disapa Iwan Bule itu pernah menjadi Kapolda Jawa Barat. Dari sisi pengalaman, tentu ia mengenal Tanah Pasundan.
Akan tetapi, diskusi paling mendasar bahwa polisi yang menduduki jabatan di luar Polri tentu setelah mundur atau pensiun. Sampai-sampai bergulir wacana hak angket di DPR. Sebaliknya pemerintah juga punya argumen. Posisi Iriawan sebagai Sekretaris Utama Lemhannas dinilai tidak bertentangan dengan aturan hukum. Apalagi kasus serupa bukan baru kali ini terjadi.
Namun, kecurigaan tak bisa dibendung. Penunjukan Iriawan bisa dikait-kaitkan dengan tiga purnawirawan Polri/TNI yang berlaga di Pilkada Jawa Barat: Mayjen TNI (Purn) Tb Hasanuddin dan Irjen (Purn) Anton Charliyan yang didukung PDI-P, serta Mayjen TNI (Purn) Sudrajat yang diusung Partai Gerindra, PKS, PAN.
Begitu juga di Sumatera Utara, ada Letjen TNI (Purn) Edy Rahmayadi yang diusung Partai Gerindra, Golkar, PKS, PAN, Nasdem, Hanura. Edy yang mantan Pangkostrad dan berpasangan dengan Musa Rajekshah akan vis-a-vis dengan pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus yang diusung PDI-P dan PPP. Mungkin karena gaduh, penunjukan Irjen (Pol) Martuani Sormin sebagai pejabat Gubernur Sumut pun batal.
Tentu tak sulit juga melihat bacaan politiknya bahwa pertarungan antara partai politik bisa menyeret Polri dan TNI. Tak heran, ada pula yang membaca penunjukan itu demi pengamanan PDI-P di dua provinsi itu. Dan, lebih jauh lagi adalah menyangkut pengamanan suara untuk pertarungan Pilpres 2019. Kalau benar demikian, netralitas Polri dan TNI menjadi pertaruhan.
Selama ini, akrobat dan manuver para politikus sangat menjemukan. Dan, nanti apakah para politikus dan parpol benar-benar mau menerima secara jantan hasil 171 pilkada? Silakan belajar pada pemain bola di Piala Dunia ini. ”Semua yang saya ketahui tentang moralitas dan kewajiban manusia, saya berutang pada sepak bola,” kata filsuf Albert Camus (1913-1960).