Lokasi Proyek di Pulau Kelapa Ganggu Akses Nelayan
Oleh
J Galuh Bimantara
·4 menit baca
KEPULAUAN SERIBU, KOMPAS—Sejumlah nelayan dan pemilik perahu memprotes pembangunan sarana penyulingan air bersih di Pulau Kelapa, Kabupaten Kepulauan Seribu, karena menghambat akses jalan mereka ke perahu yang disandarkan di depan lokasi proyek. Mereka meminta proyek dihentikan, atau dilanjutkan tetapi di lokasi lain yang tidak bersinggungan dengan kepentingan nelayan.
Mereka rata-rata bermukim di RW 04 Kelurahan Pulau Kelapa. Lokasi proyek juga berada di RW yang sama. Selain kesusahan karena pemilihan lokasi, mangkraknya proyek tersebut juga menambah masalah. “Saya tidak setuju pokoknya. Proyek pun tidak ada sosialisasi terlebih dulu kepada warga, tiba-tiba saja membangun,” ucap nelayan ikan, Sailan, di Pulau Kelapa, Rabu (20/6/2018).
Area proyek membuat nelayan kesulitan mengakses perahu-perahu mereka yang sejak sebelum proyek ada, disandarkan seperti di tempat yang sekarang. Sebelum fasilitas penyulingan air dibangun mulai 2016, area untuk proyek dimanfaatkan sebagai taman bagi publik. Sailan lebih setuju jika area proyek dikembalikan menjadi taman karena tidak mengganggu akses nelayan ke dermaga dan taman membuat warga sekitar mendapatkan ruang terbuka, mengingat permukiman di Pulau Kelapa amat padat.
Instalasi pengolahan air di Pulau Kelapa akan menggunakan teknologi osmosis air laut atau sea water reverse osmosis (SWRO), yakni menyuling air laut menjadi air layak konsumsi. Fasilitas tersebut akan memenuhi kebutuhan air bersih warga Pulau Kelapa dan Pulau Harapan. Rencananya, selain di Pulau Kelapa, SWRO akan dibangun di Pulau Kelapa Dua, Pulau Pramuka, Pulau Lancang, Pulau Panggang, dan Pulau Tidung.
Pembangunan SWRO di Kepulauan Seribu sudah dimulai tahun 2016 dengan anggaran sekitar 90 miliar, kemudian ditambah menjadi sekitar Rp 97 miliar pada 2017. Namun, proyek-proyek itu mangkrak. Menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Teguh Hendarwan, kegagalan tersebut karena kontraktor yang memenangi tender tidak kompeten membangun SWRO di pulau (Kompas, 25/11/2017).
Dalam pantauan pada Rabu, lokasi calon SWRO di Pulau Kelapa berada di bagian utara pulau. Pagar-pagar besi mengelilingi area proyek, tetapi bangunan di sana belum selesai dibangun. Rumput liar tumbuh di area dalam pagar.
Sekitar enam perahu bersandar di depan pagar area proyek SWRO. Hanya tersisa gundukan tanah selebar satu-dua meter di depan pagar untuk jalan nelayan menuju perahu mereka. Orang yang melalui jalan setapak itu juga mesti hati-hati karena tanah pada sejumlah titik bisa ambrol saat diinjak.
Seorang pemilik perahu yang disandarkan di sana, Madi Ali (70), menuturkan, jalan setapak semacam itu membahayakan nelayan dan pemilik perahu, terutama pada malam hari. Contohnya, jika hujan turun di malam hari, para pemilik perahu mau tidak mau harus mendatangi perahu mereka dan menguras air keluar dari perahu. Jika tidak demikian, air hujan yang tertampung bisa membuat perahu tenggelam.
Ali menambahkan, penyulingan air bersih untuk warga belum prioritas. Mereka sudah beradaptasi dengan kondisi air di sana, termasuk dengan air tanah yang menjadi asin saat musim kemarau seperti sekarang. Ia menghadapi kondisi tersebut sejak mulai tinggal di Pulau Kelapa tahun 1971. “Saya tidak pernah mengalami sakit akibat air. Penyakit kulit tidak ada,” ujar dia.
Namun, Ketua RW 04 Pulau Kelapa Khairul Waroh mengatakan sebaliknya. Menurut dia, warga Pulau Kelapa dan Harapan sudah menanti-nanti SWRO beroperasi karena mendamba air bersih yang layak. Saat ini, sudah ada fasilitas reverse osmosis di pulau, tetapi warga mesti datang langsung ke tempat produksi air bersih tersebut jika menginginkan mendapatkan air itu. Dengan SWRO yang direncanakan Pemprov, air bersih bakal dialirkan ke rumah-rumah warga, lalu warga membayar berdasarkan volume terpakai.
Terkait masalah akses ke tempat bersandar perahu yang terhambat, Khairul menyebutkan, Pemprov juga punya rencana untuk membangun tanggul selebar 5 meter dan sepanjang 60 meter sehingga nelayan dan pemilik perahu bisa nyaman ke perahu mereka.
Kompas pun menjajal air tanah Pulau Kelapa yang dipompa ke bak mandi. Air berasa asin, dan saat dipakai mandi, air tersebut membuat sabun dan sampo sulit berbusa. Akibatnya, penggunaan sabun dan sampo lebih boros, menjadi sekitar dua-tiga kali lipat dibanding jika mandi dengan air tawar.
Madi menekankan, ia tidak menentang niat baik Pemprov menyediakan air layak bagi warga. Namun, ia meminta agar lokasi proyek dipindah ke tempat yang jauh dari tempat bersandar perahu warga. Salah seorang pemandu wisata asal Pulau kelapa, Jupli Ali, merekomendasikan lahan kosong di bagian barat pulau. (JOG)