Cegah Konflik Sosial, KKN UGM Petakan Potensi Kawasan Transmigrasi
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Revitalisasi kawasan transmigrasi dapat mencegah terjadinya konflik sosial. Hal itu dilakukan dengan pemetaan potensi kawasan tersebut sehingga penduduk yang tinggal dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Direktur Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (DPKM UGM) Irfan Dwidya Prijambada menyatakan, transmigrasi kerap dianggap sebagai pengiriman orang miskin ke sejumlah daerah. Namun, transmigrasi sebenarnya juga sebagai upaya pengembangan daerah dari pemerintah.
”Selama ini, transmigrasi dianggap sebagai pengiriman orang miskin ke daerah-daerah. Jangan dianggap begitu karena ada banyak daerah yang tidak berkembang juga tanpa transmigran,” kata Irfan, saat dihubungi, Minggu (24/6/2018).
Irfan menjelaskan, konflik sosial dapat dicegah lewat revitalisasi kawasan transmigrasi karena kawasan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kawasan yang terpinggirkan. Upaya revitalisasi dilakukan dengan pemetaan potensi-potensi lokal yang dimiliki kawasan tersebut demi peningkatan kesejahteraan.
Terkait hal itu, UGM baru saja melepaskan 5.992 mahasiswa untuk menjalani Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN PPM) ke berbagai wilayah di Indonesia, Sabtu (23/6/2018). Ada 34 provinsi dan 107 kabupaten atau kota yang menjadi tempat pelaksanaan kegiatan tersebut. Kegiatan itu bakal berlangsung pada 23 Juni-10 Agustus 2018.
Salah satu tema yang diangkat dalam kegiatan itu adalah ”Revitalisasi Kawasan Transmigrasi”. Ada lima provinsi yang dipilih untuk tema itu, yaitu Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tengah.
Irfan menyampaikan, fokus utama yang dilakukan adalah pemetaan, baik itu potensi maupun masalah yang dialami suatu daerah. Dengan adanya pemetaan itu, masyarakat bisa tahu dan mengoptimalkan potensi-potensi lokal, serta mendapatkan jawaban atas masalah yang mereka hadapi selama ini.
Irfan mencontohkan, untuk di Mesuji, Lampung, misalnya, kawasan transmigrasi itu mempunya potensi beras. Akan tetapi, kawasan itu rawan banjir. Penyebab kebanjiran itu tidak dapat dicari dengan cukup cepat. Perlu diamati dengan waktu yang cukup lama untuk ditawarkan solusinya.
”Persoalan masyarakat tidak dapat diselesaikan dengan pengamatan yang dilakukan satu atau dua hari saja. Karena itu mahasiswa akan tinggal bersama masyarakat untuk memahami mereka dan mencari solusi yang tepat guna karena menggunakan basis riset langsung,” ujar Irfan.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia Eko Putro Sandjojo, yang hadir dalam pelepasan itu, menyampaikan, mahasiswa bisa turut berpartisipasi membangun desa lewat kegiatan itu. Caranya, menyumbangkan ide dalam mengelola potensi desa.
Dalam kegiatan itu, Eko beranggapan, mahasiswa yang turun ke desa bisa terlibat dalam pembangunan desa dengan melakukan pendampingan kepada masyarkaat desa. Ia mengharapkan mahasiswa bisa melihat peluang yang ada di desa sehingga mereka bisa memberikan inspirasi dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa.
Sementara itu, Rektor UGM Panut Mulyono mengatakan, mahasiswa bisa mengembangkan empati dan kepeduliannya terhadap masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat dalam proses pembelajaran. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan bersama.
Dosen pembimbing lapangan KKN PPM UGM, Hendrie Adji Kusworo, mengungkapkan, kegiatan itu menjadi penting karena, dalam konteks pembelajaran, mahasiswa diajak berdialog dengan disiplin ilmu lainnya dalam pembuatan sebuah program. Dialog itu membantu mahasiswa memahami kompleksitas yang terjadi di luar ruang kelas.
”KKN ini salah satu kekuatannya adalah memaksa mereka berdialog dengan yang lain karena realitas di luar kelas itu kompleks. Hanya dengan kegiatan seperti ini mereka berinteraksi dengan ilmu yang lain. Jadi, di satu sisi, mereka menerapkan teori, di sisi lain mereka memahami teori itu dalam lingkup yang lebih luas,” kata Hendrie.
Ia mencontohkan hal itu dengan program pembuatan jembatan. Ia menjelaskan, jembatan hendaknya tidak hanya menyoal konstruksi fisiknya. Namun, sebuah jembatan itu harus dipikirkan juga konteks sosial-kultural dari tempat dibangunnya jembatan itu serta dimensi ekonomi yang melingkupi jembatan tersebut.