Ekonomi Masyarakat Adat Berkelanjutan dan Memikirkan Pewarisan
Selama ini makna ”pembangunan” dan ”kesejahteraan” hanya diisi angka-angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, nilai investasi, penyerapan tenaga kerja, dan beragam jargon ekonomi untuk membangun mimpi tentang kemakmuran. Pemaknaan tersebut secara diametral telah mereduksi nilai nominal dari kekayaan alam yang selama ini dijaga, dimanfaatkan, atau dipertahankan oleh masyarakat adat.
”Jika berbicara ekonomi selalu berbicara ekonomi sektoral. Amat diskriminatif. Padahal, masyarakat adat memiliki potensi dan kemampuan. Selama ini seakan-akan satu-satunya pihak yang bisa menggerakkan ekonomi adalah dari korporasi saja,” ujar Direktur Perluasan dan Partisipasi Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdi Akbar saat peluncuran hasil studi yang dilakukan AMAN bersama Climate and Land Use Alliance (CLUA) dalam laporan, ”Menakar Keragaan Ekonomi Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Masyarakat Adat”, Kamis (24/5/2018) di Jakarta.
Masyarakat adat memiliki potensi dan kemampuan. Selama ini seakan-akan satu-satunya pihak yang bisa menggerakkan ekonomi adalah dari korporasi saja.
Potret serupa diungkapkan koordinator Team Studi Valuasi Ekonomi, Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif Yayasan Strategi Konservasi Indonesia. Narasi tentang pembangunan, kata Mubariq, ”Yang dominan adalah lahan yang dikelola masyarakat adat tidak produktif, tidak memberikan sumbangan pada perekonomian, tidak menyumbang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).” Tim pakar terdiri dari tujuh akademisi dari Universitas Padjajaran, Universitas Indonesia, dan Institut Pertanian Bogor.
Dari penelitian, Januari-April 2018 di enam wilayah adat didapati bahwa di masing-masing wilayah masyarakat adat ditemukan lebih dari 100 jenis produk sumber daya alam dan jasa lingkungan. Setiap komunitas telah mengenali sumber daya alam (SDA) yang mereka anggap paling penting dari perspektif ekonomi mereka. Produk-produk tersebut mencakup hasil dari tanaman, seperti cabe, jengkol, kopi, karet, tanaman obat-obatan, serta hasil dari perairan, seperti ikan, juga dari hal-hal lain, seperti batu, pasir, dan kondisi alam, yang dapat dijadikan obyek ekowisata.
Dari penelitian, Januari-April 2018 di enam wilayah adat, didapati bahwa di masing-masing wilayah masyarakat adat ditemukan lebih dari 100 jenis produk sumber daya alam dan jasa lingkungan.
Fungsi hutan sebagai salah satu bentuk jasa lingkungan masuk dalam kategori manfaat tak langsung. Jasa lingkungan utama yang teridentifikasi di antaranya fungsi hidrologi hutan, serapan karbon, wisata alam, pengendalian pasok air, dan wisata budaya. Hutan adalah sumber air untuk irigasi, dan/atau pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), pengendali banjir dan kekeringan, serta erosi. Jasa lingkungan masuk dalam kategori pemanfaatan tak langsung. Nilai manfaat tak langsung ini juga dimasukkan ke dalam nilai ekonomi total.
Antara fakta dan janji
Dari valuasi menggunakan data dari penggalian informasi di lapangan, data sekunder, seperti buku Kabupaten Dalam Angka, informasi dari internet, dan studi lain. Akan tetapi, nilai tersebut tidak memasukkan nilai yang manfaatnya tak dirasakan secara langsung. Nilai keberadaan (existence value), nilai warisan (bequest value), dan nilai pilihan (option value).
Berbeda dengan penelitian tersebut, pemerintah tidak pernah menghitung nilai manfaat ekonomi tidak langsung. Selain itu, pendapatan natura (non-cash revenue), seperti pangan yang didapat langsung dari kebun tanpa membeli, juga tak dihitung serta curahan waktu untuk bekerja.
Pemerintah tidak pernah menghitung nilai manfaat ekonomi tidak langsung.
Akibat kekeliruan pemahaman makna nilai ekonomi tersebut, pemerintah lantas terus mendatangkan investor dengan ”janji”: itu akan membawa lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan pajak, serta devisa.
Mubariq pun mempertanyakan, ”Apakah pernah dicek, dengan investasi itu pendapatan siapa akan naik?” Sementara masyarakat demi investasi dipindahkan dari tanahnya, disingkirkan dari tanah leluhurnya yang dimiliki secara turun-temurun, dan dimarjinalisasikan. Saat lahan telah diambil, pemilik lahan pun menjadi buruh. Tentang relevansi dengan pembukaan lapangan kerja dan pendapatan devisa atau PAD pun tak pernah ada penjelasan terbuka dan transparan.
Temuan lain, potensi ekonomi lokal di wilayah adat mendapat ancaman pada keutuhannya, yaitu dari investasi swasta dan dukungan pemerintah untuk konsesi perkebunan swasta (sawit, karet, hutan tanaman industri/HTI, hak pengusahaan hutan/HPH), dan ancaman penetapan sebagai kawasan konservasi. Semua itu berisiko mengancam keutuhan wilayah adat, modal, serta keutuhan masyarakat adat.
Potensi ekonomi lokal di wilayah adat mendapat ancaman pada keutuhannya, yaitu dari investasi swasta dan dukungan pemerintah untuk konsesi perkebunan swasta dan ancaman penetapan sebagai kawasan konservasi.
Sebab, dalam melakukan aktivitas ekonominya, masyarakat adat tak pernah lepas dari keterkondisian mereka secara kultural dengan kearifan lokalnya, dan sosial. Sementara pertanian mereka pun bersifat subsisten dan perkebunan mereka bersifat cash-crops (tanaman yang menghasilkan uang). Dalam struktur masyarakat adat, terdapat lembaga adat yang mengatur berbagai segi kehidupan masyarakat adat, di antaranya mengatur pemanfaatan sumber daya alam di wilayah adat lebih untuk kepentingan komunal.
Terdapat tiga model investasi yang memiliki dampak berbeda terhadap masyarakat adat. Pertama, investasi A di mana pendapatan riil masyarakat akan menngkat jika mereka juga memiliki saham pada investasi yang berasal dari luar. Model kedua adalah investasi di mana pendapatan riil masyarakat tidak meningkat karena investasi dikelola penuh oleh pihak luar. Investasi C masyarakat semakin menurun pendapatannya karena investasi terus mengalir dari luar dan masyarakat tidak mendapat kesempatan sama sekali.
Lestari dan berkelanjutan
Melihat praktik ekonomi di masyarakat adat dan dengan melakukan valuasi ekonomi pada enam wilayah adat tersebut, muncul rekomendasi bagi pemerintah untuk menciptakan investasi yang menjamin keberlanjutan. Pembangunan ekonomi masyarakat adat di satu sisi perlu memperhitungkan keuntungan ekonomi jangka pendek bagi masyarakat, tetapi di sisi lain harus memperhitungkan bahwa dalam jangka panjang menjamin kepemilikan atas harta berupa sumber daya alam, terutama lahan, dan jasa ekosistem—sebagai sistem pendukung utama untuk produksi.
Dari penelitian ini, pemerintah harus belajar memahami: masyarakat adat adalah masyarakat yang kaya. Mereka tak hanya kaya akan SDA dan jasa lingkungan. Mereka pun kaya pranata dan pengetahuan lokal—nyaris di semua wilayah MA yang diteliti—seakan bersenyawa dengan sistem pengelolaan lanskap SDA dan lingkungannya serta kehidupan ekonominya.
Masyarakat adat adalah masyarakat yang kaya. Mereka tak hanya kaya akan sumber daya alam dan jasa lingkungan.
Dalam kehidupan masyarakat adat, budaya dan kearifan lokal senantiasa sejalan dengan upaya melestarikan dan mengonservasi alam—di antaranya dengan ritual religi. Dengan model pemanfaatan seperti itu, masyarakat adat mengelola asetnya secara ”lestari dan berkelanjutan”.
”Ekonomi yang dibangun asli dari komunitas seharusnya diurus agar kita kuat sehingga tidak terlalu bergantung pada luar,” ujar Deputi IV Sekjen AMAN Urusan Sosial dan Budaya Mina Susana Setra. Anggota AMAN meliputi sekitar 2.366 komunitas adat dengan populasi sekitar 18 juta jiwa. Hal senada disampaikan Luthfi. Menurut dia, jika perekonomian masyarakat adat didukung pemerintah, pemerintah akan terbantu karena pemerintah tidak perlu intervensi dengan pendanaan.
Dari hasil studi tersebut, lahir sejumlah rekomendasi. Yang utama adalah pemerintah dan DPR didesak menuntaskan dan mengesahkan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat ( UU PPMA). Undang-undang ini akan menjadi basis hukum pengakuan wilayah adat, insentif ekonomi berkelanjutan berbasis SDA di wilayah MA, basis kebijakan untuk melindungi kepemilikan kekayaan dan modal alam masyarakat adat demi keadilan ekonomi, serta basis kebijakan pengakuan hak yang diimbangi kewajiban.
Pemerintah dan DPR didesak menuntaskan dan mengesahkan UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Menyusul hasil penelitian tersebut, pihak AMAN didesak mentransformasi hasil penelitian sebagai materi advokasi untuk perluasan di berbagai wilayah masyarakat adat lainnya yang bertujuan untuk percepatan lahirnya UU PPMA.
Praktik ekonomi masyarakat adat perlu dipahami sebagai salah satu jalan menuju pencapaian target pembangunan berkelanjutan. Karena, masyarakat adat sepanjang hidup mereka telah belajar memanfaatkan SDA, sekaligus menjaga warisan.