Ahli Komputer Uganda Temukan Cara Diagnosis Malaria Tanpa Tes Darah
Oleh
Elok Dyah Messwati
·3 menit baca
KAMPALA, MINGGU — Akibat mengalami demam dan frustrasi karena keterlambatan mendiagnosis penyakitnya, Brian Gitta menemukan ide cemerlang, yakni melakukan tes malaria yang tidak menggunakan sampel darah atau teknisi laboratorium khusus. Temuan Brian Gitta membuat ilmuwan komputer Uganda berusia 25 tahun tersebut memenangi penghargaan rekayasa bergengsi untuk alat tes malaria non-invasif yang diharapkan bisa digunakan secara luas di seluruh Afrika.
Atas upayanya mengembangkan alat tes malaria yang dapat digunakan kembali dan diberi nama Matibabu, Brian Gitta pada bulan ini dianugerahi Penghargaan Afrika untuk Inovasi Rekayasa. Penghargaan yang diberikan Royal Academy of Engineering di Inggris tersebut berhadiah senilai 25.000 poundsterling atau lebih kurang Rp 500 juta.
Malaria adalah pembunuh terbesar di Afrika. Wilayah sub-Sahara menyumbang sekitar 80 persen kasus malaria di dunia dan kematian akibat malaria.
Menurut Laporan Malaria Dunia terbaru yang dirilis akhir tahun lalu, penyakit malaria meningkat menjadi 216 juta kasus pada tahun 2016, naik dari 211 juta kasus pada tahun 2015. Di sisi lain, kematian akibat malaria turun 1.000 menjadi 445.000. Malaria, penyakit yang ditularkan nyamuk, memberi tantangan dalam hal cara pencegahannya, apalagi dengan meningkatnya resistensi yang dilaporkan pada obat dan insektisida.
Alat tes malaria baru ciptaan Gitta bekerja dengan memberikan sinar merah ke jari untuk mendeteksi perubahan bentuk, warna, dan konsentrasi sel darah merah, yang semuanya dipengaruhi malaria. Hasilnya dikirim dalam 1 menit ke komputer atau ponsel yang terhubung ke perangkat.
Dikontrak
Sebuah firma yang berbasis di Portugal telah dikontrak untuk memproduksi komponen untuk Matibabu, yang dalam bahasa Swahili berarti ”pengobatan”. ”Penemuan ini adalah contoh sempurna bagaimana menggunakan teknologi untuk membuka kunci pengembangan, dalam hal ini untuk meningkatkan perawatan kesehatan,” kata Rebecca Enonchong, salah seorang juri Penghargaan Afrika untuk Inovasi Rekayasa.
Gitta dan lima kolega yang semuanya terlatih dalam ilmu komputer mengembangkan alat tes terjangkau tanpa menggunakan darah, dan tidak memerlukan spesialis untuk mengoperasikan alat tersebut. Tes ini akan cocok untuk digunakan di daerah perdesaan Afrika, tempat sebagian besar kasus malaria terjadi, dan tidak perlu lagi bergantung pada pengiriman sampel darah ke laboratorium yang jauh.
Tes ini akan cocok untuk digunakan di daerah perdesaan Afrika, tempat sebagian besar kasus malaria terjadi.
Pihak-pihak lain juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan akan tes malaria yang lebih cepat dan lebih mudah. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada lebih dari 200 produk uji diagnostik cepat untuk malaria di pasar.
Prototipe generasi kelima Matibabu, dengan tingkat akurasi 80 persen, masih dalam proses. Gitta dan kelompoknya bertujuan menyempurnakan perangkat hingga mencapai tingkat akurasi yang melebihi 90 persen.
Matibabu belum secara resmi melakukan semua uji klinis yang diperlukan di bawah peraturan keselamatan dan etika Uganda.
Bersemangat
”Penemuan ini membuat saya bersemangat sebagai seorang dokter,” kata Medard Bitekyerezo, dokter Uganda yang juga Kepala Otoritas Obat Nasional. ”Saya pikir Otoritas Obat Nasional akan menyetujuinya.”
Pemerintah harus berinvestasi dalam proyek tersebut sehingga para pengembangnya tidak mengalami kesulitan keuangan. Biaya unit prototipe terbaru adalah sekitar 100 dollar AS (Rp 1,4 juta).
Meskipun penuh optimisme, Gitta ternyata menemukan rintangan yang tidak diantisipasi: beberapa pasien skeptis terhadap teknologi yang tidak dikenal. ”Para dokter akan memberi tahu Anda bahwa beberapa orang tidak akan meninggalkan rumah sakit sampai anak-anak mereka disuntik, dan sampai mereka diberi obat antimalaria dan obat penghilang rasa sakit, bahkan jika anak itu tidak sakit,” ujar Gitta.
”Kami pikir kami mengembangkan alat ini untuk rumah sakit terlebih dahulu sehingga warga yang berobat dapat terlebih dahulu mengetahui alat ini, dan alat ini mendapatkan kepercayaan dari pasien,” ujar Gitta. (AP)