Akurasi Data Pemilih Paling Rawan Timbulkan Masalah
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu memetakan potensi kerawanan masalah paling tinggi yang mungkin terjadi di tempat pemungutan suara pada Pilkada 2018 terkait akurasi data pemilih. Perekaman KTP elektronik yang belum selesai, pemenuhan elemen informasi dalam data pemilih yang kurang lengkap dan keliru, hingga lokasi TPS yang jangkauanya jauh dari tempat tinggal pemilih menjadi faktor akurasi data pemilih rawan bermasalah.
Anggota Bawaslu, M Afifudin, mengatakan, dari total 387.559 tempat pemungutan suara yang melaksanakan pilkada, sebanyak 91.979 TPS rawan bermasalah terkait akurasi data pemilih.
”Indikator kerawanannya yaitu nantinya terdapat pemilih yang tidak memenuhi syarat, tetapi terdaftar di DPT (daftar pemilih tetap) atau sebaliknya. Seperti contohnya, ada anggota Polri atau TNI yang terdaftar dalam DPT atau pemilih yang sudah meninggal masuk ke dalam DPT,” ujarnya saat konferensi pers di kantor Bawaslu, Jakarta, Senin (25/6/2018).
Selain akurasi data pemilih, potensi kerawanan lain yang mungkin terjadi adalah hilangnya hak pilih di 80.073 TPS dan politik uang di 26.789 TPS. Afif mengatakan, oleh sebab itu, KPU perlu menjamin pemenuhan hak pemilih yang terkendala karena tidak terdaftar, padahal memiliki KTP-el atau surat keterangan dan mempermudah pemilih yang terdaftar di DPT.
”KPU juga perlu memaksimalkan distribusi surat pemberitahuan memilih (C6) kepada pemilih yang berhak menerimanya dan menyampaikan secara langsung hingga satu hari menjelang pemungutan suara untuk semakin menjamin hak pilih dan meningkatkan partisipasi pemilih,” ujarnya.
Selain itu, potensi mobilisasi suara perlu diantisipasi karena adanya formulir A5 yang memperbolehkan pemilih tidak mencoblos di daerah asalnya. Kemudian, hak pilih bagi para narapidana serta para penghuni rumah sakit juga perlu diperhatikan oleh penyelenggara pemilu.
Temuan pelanggaran
Anggota Bawaslu, Ratna Dewi Petalolo, mengatakan, hingga saat ini Bawaslu telah menemukan 2.232 pelanggaran yang terjadi menjelang Pilkada 2018 dan sebagian besar merupakan pelanggaran administratif.
”Provinsi yang paling banyak terjadi pelanggaran yaitu di Jawa Barat dan Lampung. Kemudian terkait pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) paling banyak terjadi di daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara,” ujar Ratna.
Secara terpisah, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi mengatakan, potensi politik uang pada masa tenang juga sering terjadi di Jabar, khususnya di daerah pantura. Selain itu, Pilkada Jawa Barat juga semakin panas dengan munculnya komentar presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan adanya masalah netralitas kalangan ASN, TNI, dan Polri di Jabar.
”Jika ada temuan seperti itu, sebaiknya diperlukan bukti-bukti kuat dan segera dilaporkan kepada Bawaslu,” ujar Muradi.
Afifudin mengatakan, hingga saat ini belum ada laporan yang masuk terkait pernyataan Yudhoyono yang menilai ada ketidaknetralan aparat dalam Pilkada Jabar.
Menurut Afif, saat ini perang isu kerap terjadi menjelang Pilkada 2018. ”Kami tidak ingin terjebak dalam perang isu ini. Oleh sebab itu, perlu ada bukti yang kuat jika kasus ini ingin dilaporkan,” ujarnya.
Ketua Bawaslu Abhan Misbah mengatakan, saat ini Bawaslu juga sedang melakukan patroli pengawasan di masa tenang pilkada. Posisi petahana yang mencalonkan diri juga menjadi salah satu fokus pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu.
”Pada masa kampanye, para petahana ini cuti dari jabatannya. Kemudian, pada masa tenang, mereka kembali aktif menjabat. Kami mengantisipasi adanya mobilisasi suara di birokrasi tempat mereka menjabat,” ujarnya.