Fenomena Maraknya Calon Tunggal Jadi Bukti Kegagalan Partai Politik
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Munculnya fenomena calon tunggal dan dinasti politik dalam Pemilihan Kepala Daerah 2018 menunjukkan masih kurang dewasanya partai politik dalam melahirkan calon kepala daerah yang berkualitas. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki pilihan calon kepala daerah alternatif sebagai bahan pertimbangan.
Meningkatnya jumlah pasangan calon tunggal dalam pilkada serentak menunjukkan bahwa partai politik gagal melahirkan calon pemimpin yang bagus. Akademisi Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, mengatakan, adanya calon tunggal di 16 daerah menunjukkan kegagalan parpol dalam melahirkan calon alternatif dalam Pilkada 2018.
”Parpol seharusnya mampu memunculkan calon kepala daerah yang berkualitas minimal sekelas pemimpin sebelumnya,” kata Emrus saat ditemui di Karawaci, Tangerang, Banten, Senin (25/6/2018).
Emrus mengatakan, masyarakat dihadapkan dengan kotak kosong melawan calon tunggal tersebut. Masyarakat hanya dapat melihat program dari satu calon kepala daerah. Apabila program tersebut dirasa tidak sesuai yang diharapkan, maka masyarakat langsung memilih kotak kosong.
Hal itu berbeda dengan daerah yang memiliki beberapa calon kepala daerah. Pada situasi ini, masyarakat dapat menimbang-nimbang berbagai sisi positif dan negatif dari setiap pasangan calon kepala daerah.
Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Alfan Alfian berpandangan, fenomena calon tunggal dan politik dinasti dapat muncul dalam proses demokrasi di Indonesia. Fenomena tersebut muncul setelah proses pencalonan sejak kandidasi hingga penetapan.
”Calon tunggal merupakan realitas politik yang tidak dapat dielakkan,” kata Alfan saat dihubungi di Jakarta. Menurut Alfan, segala ketentuan telah dibuat agar tidak ada calon tunggal. Namun, pada faktanya calon tunggal tersebut tetap ada seiring dengan proses pencalonan.
Munculnya calon tunggal tersebut terjadi karena ada pasangan calon yang tidak lolos seleksi. Selain itu, ada yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga gagal mencalonkan dirinya untuk maju ke Pilkada 2018.
Dalam demokrasi lokal, calon tunggal tidak akan langsung terpilih. Mereka akan berhadapan dengan kotak kosong. Hal tersebut sering terjadi pada pemilihan kepala desa sejak masa setelah kemerdekaan hingga Orde Baru.
Para calon tunggal memiliki peluang menang lebih besar daripada yang harus bertarung dengan pasangan calon lain. Tantangan mereka terletak pada integritas dan rekam jejaknya. ”Apabila mereka melakukan kesalahan, maka pemilih tidak akan berempati dan mereka akan memilih kotak kosong,” kata Alfan.
Politik dinasti
Menurut Emrus, sebagian besar parpol di Indonesia ada indikasi mengutamakan politik dinasti. ”Seseorang dapat dengan cepat menduduki jabatan strategis karena pengaruh hubungan keluarga,” tuturnya.
Politik dinasti menyebabkan lemahnya kualitas seorang politisi. Proses instan tersebut menyebabkan dirinya kurang berpengalaman. Akibatnya, sering terjadi kecemburuan di dalam internal partai.
Situasi tersebut sering dijumpai di tingkat kabupaten dan provinsi. Emrus menemukan beberapa daerah yang dipimpin oleh orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemimpin sebelumnya.
Berdasarkan data Litbang Kompas, dari 17 provinsi yang mengadakan pilkada, terdapat 6 provinsi yang calon kepala daerahnya berlatar belakang dari dinasti politik. Sementara itu, dari 154 kabupaten/ kota yang mengadakan pilkkada, terdapat 7 daerah calon bupati/wali kota dari dinasti politik.
Menurut Emrus, fenomena tersebut menunjukkan lemahnya demokrasi di tingkat internal partai politik. Internal partai politik seharusnya mampu menunjukkan kedaulatan demokrasi sehingga dapat melahirkan kader yang memiliki kapabilitas, kualitas, dan kinerja yang baik.
Terpola
Menurut Alfan, politik dinasti muncul karena pola yang terbangun di masyarakat. Ada beberapa orang dari kalangan bangsawan lokal yang memiliki pengaruh besar. Mereka memiliki jejaring yang luas sehingga politik dinasti terbentuk.
Politik dinasti tersebut semakin mengakar karena adanya aturan setiap warga negara Indonesia memiliki kesempatan yang sama dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah.
Menurut Alfan, munculnya fenomena calon tunggal dan politik dinasti menunjukkan perlu adanya perbaikan regulasi pada pilkada. ”Saat ini, yang terpenting adalah proses pilkada dapat berjalan dengan baik dan demokratis,” katanya.
Ia berharap tidak ada kecurangan dalam proses pilkada, seperti politik uang. Selain itu, tidak ada lagi calon kepala daerah yang menggunakan isu SARA demi memenangkan proses demokrasi.