Hutan Masih Lebat, Mengapa Longsor Tetap Terjadi?
BANYUWANGI, KOMPAS — Banjir bandang di Banyuwangi membawa material dari longsoran material Gunung Pendil yang berada di kompleks Gunung Raung. Kendati tutupan hutan di Gunung Pendil masih cukup rapat, longsor tetap terjadi.
Banyak pihak bertanya, mengapa longsor di Gunung Pendil terjadi, padahal tutupan hutan masih cukup baik. Bukankah akar-akar dari pepohonan di Gunung Pendil bisa mengikat tanah sehingga bisa mencegah terjadinya longsor?
Gunung Pendil merupakan gunung api yang sudah tidak aktif. Gunung tersebut berada di sebelah timur Gunung Raung. Jika ditarik garis lurus, kedua gunung tersebut berjarak 8,5 kilometer.
Kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, tutupan lahan tahun 2017 di bagian hulu masuk dalam kategori baik. Luas penutupan hutan di bagian hulu sekitar 60 persen, setara dengan 9.785 ha dari total luas penutupan lahan. Adapun luas lahan kritis dan sangat kritis sebesar 2.078,1 ha.
Tutupan lahan tahun 2017 di bagian hulu masuk dalam kategori baik.
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ida Bagus Putera Parthama mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menjalankan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dari tahun 2010 hingga 2016 seluas 383 ha.
Umumnya longsor terjadi di lahan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat yang minim ditumbuhi tanaman keras sebagai pengikat tanah. Lalu mengapa Gunung Pendil yang dinyatakan memiliki tutupan hutan kategori baik masih longsor?
Mengapa Gunung Pendil yang dinyatakan memiliki tutupan hutan kategori baik masih longsor?
Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Agus Budianto menjelaskan, longsor di Gunung Pendil terjadi karena akumulasi penyebab alamiah.
Banjir bandang ini merupakan akumulasi dari berbagai faktor, yaitu ketinggian, kemiringan yang terjal, kelapukan bebatuan, dan tingginya curah hujan di Gunung Pandil.
Banjir bandang akibat akumulasi faktor ketinggian, kemiringan yang terjal, kelapukan bebatuan, dan tingginya curah hujan.
Berdasarkan penulusuran Kompas menggunakan aplikasi Google Earth, ketinggian Gunung Pendil sekitar 2.350 mdpl. Melalui aplikasi itu pula tampak lokasi yang mengalami longsor. Titik tertinggi longsor ada di ketinggian 2.245 mdpl.
”Gunung Pendil memiliki penampang kerucut yang curam dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Kemiringan tersebut sangat berpotensi terjadi pergerakan tanah berupa longsoran. Potensi gerakan tanah merupakan potensi yang biasa terjadi di setiap gunung api karena memiliki kimiringan yang ekstrem,” ujar Agus.
Agus mengatakan, PVMBG sebenarnya telah melakukan kajian untuk pemetaan mitigasi bencana geologi. Saat itu, PVMBG sudah melihat potensi banjir bandang dengan probabilitas tinggi.
Hasil kajian tersebut sudah disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan BPBD Banyuwangi. Hal itu dilakukan agar kesiapan warga lebih matang dalam menghadapi bencana tersebut.
Gunung Pendil merupakan gunung api tua dengan tingkat pelapukan yang sangat tinggi.
Dalam kajian tersebut, kata Agus, diketahui bahwa Gunung Pendil merupakan gunung api tua dengan tingkat pelapukan yang sangat tinggi. Saat musim kemarau, batuan tua yang melapuk tersebut merekah. Lalu, saat terkena hujan, batuan tersebut mengembang sehingga memungkinkan air hujan masuk.
”Karena terus-menurus tersiram air hujan, terjadi kejenuhan tanah dan batuan akibat air di dalam tanah yang terbendung. Saat terus-menerus kemasukan air, bebatuan yang lapuk tersebut tidak kuat menahan sehingga terjadi longsor,” ujarnya.
Pada akhir Mei pernah terjadi longsor. Longsoran tersebut membentuk sebuah bendungan kecil. Curah hujan di Gunung Pendil kembali meningkat sejak Senin hingga Kamis (17-21/6/2018), yang akhirnya mendobrak batuan longsoran hingga menyebabkan banjir bandang pada Jumat (22/6/2018).
Baca Juga : https://kompas.id/baca/utama/2018/06/22/banyuwangi-dihantam-banjir-lumpur-dari-material-gunung-raung/
Material longsoran itu terbawa hingga Desa Alasmalang. Jika ditarik garis lurus, jarak titik longsoran hingga mencapai Desa Alasmalang sekitar 26,30 km.
Agus mengakui, tutupan di puncak Gunung Pendil masih cukup rapat. Namun, akumulasi faktor kelapukan, curah hujan, kemiringan, dan ketinggian membuat longsor tetap terjadi.
”Walaupun di atas permukaan tanah terdapat pepohonan keras yang tinggi dan besar, batuan di bawahnya melapuk. Potensi longsor masih sangat besar. Pasalnya, akar pepohonan keras tersebut hanya mencengkeram bagian yang lapuk. Pepohonan yang besar justru ikut terseret tanah yang longsor tersebut,” ujar Agus.
Jika akar pepohonan tersebut mengikat hingga bagian bebatuan keras di bawah bebatuan lapuk, kata Agus, pepohonan tersebut tentu masih mampu mengikat tanah. Jika hal itu yang terjadi, longsoran dapat diminimalkan.
Longsor yang terjadi diperparah dengan tingginya curah hujan. Bahkan disebut terjadi sebuah anomali cuaca karena curah hujan meningkat secara drastis dalam jangka waktu antara dua hari hingga empat hari.
Hujan deras itu menyebabkan peningkatan limpasan permukaan yang jauh melebihi kapasitas pada daerah-daerah tangkapan air (DTA). Limpasan permukaan di DTA Badeng mencapai 26,16 meter kubik per detik, padahal kapasitas maksimal 3,8 meter kubik per detik. Hal serupa terjadi di DTA Kumbo, yang limpasan permukaannya mencapai 41,86 meter kubik per detik, padahal kapasitas maksimal 5,2 meter kubik per detik. Adapun limpasan di DTA Binaung mencapai 37,36 meter kubik per detik dari kapasitas maksimal 5,3 meter kubik per detik.