Kaderisasi Partai Politik Tidak Berjalan, Petahana Mendominasi
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemunculan para petahana sebagai calon kepala daerah dalam daftar pertarungan Pilkada 2018 menunjukkan sistem perekrutan dan kaderisasi calon pemimpin di tubuh partai politik tidak berjalan. Persoalan ini pula yang memicu munculnya fenomena politik dinasti.
Berdasarkan data Litbang Kompas, 76,47 persen atau 13 dari 17 provinsi yang menyelenggarakan pilkada serentak 2018 menunjukkan para calon kepala daerah di wilayah itu adalah petahana.
Dominasi petahana dalam pilkada tingkat kabupaten/kota pun terjadi. Sebanyak 79 persen (90 kabupaten dan 33 kota) yang menyelenggarakan pilkada mempunyai calon kepala daerah petahana. Bahkan, di Malang, Jawa Timur, dua dari tiga pasangan calon yang akan bersaing di pilkada serentak mendatang merupakan pasangan wali kota dan wakilnya yang berkuasa sekarang.
Guru Besar Administrasi Publik Universitas Merdeka Bonaventura Ngw mengatakan, Senin (25/6/2018) siang, fenomena ini muncul karena sistem perekrutan dan kaderisasi politik yang seharusnya dilakukan oleh parpol tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, tidak ada figur hasil kaderisasi yang prominent dan dapat menjadi alternatif pilihan masyarakat.
Sementara itu, partai politik melihat para petahana sebagai calon yang sudah siap bertarung kembali. Sebab, petahana dinilai memiliki modal kapital yang besar dan terbukti memiliki basis pendukung yang sudah tersedia. ”Para petahana juga berpikiran serupa, mereka merasa sudah memiliki bekal yang kuat untuk bersaing,” kata Bonaventura ketika dihubungi dari Jakarta.
Hal senada juga disampaikan oleh Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang Rinikso Kartono. ”Masalahnya saat ini adalah rekrutmen politik tidak berjalan baik. Partai politik tidak percaya diri apabila tidak didukung oleh figur yang sudah populer di masyarakat,” kata Rinikso.
Masalahnya saat ini adalah rekrutmen politik tidak berjalan baik. Partai politik tidak percaya diri apabila tidak didukung figur yang populer di masyarakat.
Dinasti politik
Tanpa proses estafet yang baik di dalam partai politik, politik dinasti yang dipimpin oleh kepala daerah yang sedang berkuasa dapat tercipta. ”Alih-alih kaderisasi lewat partai politik, yang terjadi sekarang malah politik dinasti, estafet kepada keluarga sendiri. Kekuasaan dianggap sebagai kesempatan untuk kepentingan sesaat dan kaumnya sendiri,” kata Bonaventura.
Dalam pilkada serentak 2018, terdapat enam provinsi yang calon kepala daerahnya berlatar belakang dari dinasti politik, yakni Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan.
Dari 154 kabupaten/kota yang mengadakan pilkada, terdapat 7 daerah yang calon bupati/wali kotanya dari dinasti politik, yakni Kabupaten Lebak, Tangerang, Bandung Barat, Purwakarta, Bojonegoro, Pulang Pisau, dan Kota Serang.
Adanya dinasti politik ini, demokrasi dapat tidak berkembang dengan baik. Sebab, sirkulasi kekuasaan hanya berputar di segelintir elite politik. Bonaventura menilai, politik dinasti sebetulnya dapat dihindari kemunculannya apabila elite mengikuti tata krama politik yang baik.
”Elite politik harus bisa menahan diri supaya mendidik masyarakat. Elite politik dan parpol yang sudah dewasa juga harus menghindari dinasti politik,” kata Bonaventura.
Sebab, harus disadari bahwa kemunculan dinasti politik ini menunjukkan adanya upaya melanggengkan kekuasan yang ”mengenakkan”. ”Dinasti politik itu menunjukkan bahwa bersama dengan kepentingan politik juga datang faktor ekonomi. Kelak, bukannya tidak mungkin akan ada kebijakan atau perilaku lainnya yang dilakukan demi kepentingan dinasti petahana,” kata Rinikso.
Bonaventura mengatakan, hal semacam ini akan kian langgeng dalam kehidupan politik Indonesia karena masyarakat pemilih yang cenderung pragmatis dan tidak mengontrol partai politik. ”Terkadang masyarakat baru mau memilih apabila ada kompensasi seperti uang,” katanya.