JAKARTA, KOMPAS — Jumlah pasangan calon tunggal meningkat setiap perhelatan pemilihan kepala daerah serentak. Meningkatnya pasangan calon tunggal dalam pilkada dinilai merugikan masyarakat dan mengancam demokrasi.
Pada pilkada serentak 2015 ada tiga daerah dengan calon tunggal. Jumlah itu meningkat pada pilkada serentak 2017, di mana terdapat 8 kabupaten/kota yang tersebar di tujuh provinsi yang diikuti oleh calon tunggal. Pada pilkada serentak 2018, daerah yang memiliki calon tunggal membengkak hingga 16 kabupaten/kota.
Pengamat politik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), Denpasar, Bali, Nyoman Subanda, mengatakan, kehadiran calon tunggal dalam perhelatan pilkada tidak melanggar konstitusi. Namun, ia menilai, fenomena calon tunggal menunjukkan kegagalan partai politik dalam perekrutan dan proses kaderisasi. Fenomena calon tunggal, katanya, membuat alternatif pilihan masyarakat menjadi terbatas. Selain itu, masyarakat tidak mendapatkan proses pendidikan politik dari perhelatan pesta demokrasi.
”Itu ancaman bagi proses demokratisasi. Karena ketika kita sudah demokrasi, maka harusnya ada berbagai alternatif pilihan bagi masyarakat,” ujarnya dihubungi dari Jakarta, Senin (25/6/2018).
Subanda menambahkan, dalam beberapa kali pilkada serentak, munculnya calon tunggal juga bisa disebabkan ada petahana yang memiliki rekam jejak baik selama memimpin daerah.
Ia mencontohkan, pada 2015, Kota Surabaya nyaris memiliki calon tunggal karena tidak ada kandidat lain yang maju menantang Wali Kota petahana Tri Rismaharini. Dalam kasus itu, Subanda memandang kompetitor Risma hanya memikirkan menang dan kalah, bukan pada proses pembelajaran.
Menurut Subanda, ongkos politik yang mahal juga memengaruhi kemunculan calon tunggal. Apabila partai merasa peluang calon yang diusungnya kecil, maka kecenderungan partai akan lebih pragmatis dengan merapat ke calon petahana dengan elektabilitas tinggi.
Seharusnya, kata Subanda, partai politik melaksanakan perekrutan politik, sosialisasi, kaderisasi, dan edukasi politik dengan baik. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih cerdas. Dengan perekrutan dan kaderisasi yang baik, partai politik bisa menghadirkan pemimpin baru berkualitas.
”Fenomena calon tunggal menimbulkan masalah bagi demokrasi lokal. Sebab, esensi dari demokrasi ialah kontestasi guna mencari calon yang terbaik untuk menjalankan amanah pemilih,” tuturnya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Denpasar, GBP Suka Arjawa, memandang, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan dengan kehadiran calon tunggal.
Menurut Arjawa, calon tunggal membatasi pilihan masyarakat untuk menentukan pemimpin mereka. Dengan calon kepala daerah yang bervariasi, akan ada adu misi dan visi serta program. Hal itu akan mencerdaskan masyarakat, di samping menawarkan banyak pilihan calon pemimpin.
”Calon tunggal menyebabkan tidak ada perbandingan kebijakan untuk masyarakat,” kata Arjawa.
Sementara itu, pengajar ilmu politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Luh Riniti Rahayu, menyampaikan, meningkatnya jumlah calon tunggal dalam Pilkada 2018 menunjukkan belum ada solusi untuk mencegah terjadinya kemunduran terhadap kualitas demokrasi di Indonesia.
Syarat berat
Riniti mengatakan, kemunculan calon tunggal disebabkan beberapa hal. Salah satunya syarat pengajuan pasangan calon semakin sulit. Syarat bagi kandidat perseorangan begitu berat karena harus mengumpulkan dukungan dari 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap pemilihan terdahulu.
Syarat dukungan dari jalur parpol juga terlalu tinggi, yakni 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah. Selain karena beratnya syarat pencalonan, ada pula yang menilai kondisi ini muncul karena ketiadaan ambang batas atas dukungan parpol untuk satu pasangan calon kepala daerah.
Selain itu, Riniti menilai, merebaknya fenomena calon tunggal pada pilkada serentak 2018 karena parpol semakin berpikir pragmatis untuk meraih kemenangan. Hal itu disebabkan pilkada serentak 2018 berdekatan dengan Pemilihan Presiden 2019 dan juga pemilihan anggota legislatif. Kemenangan pada pilkada serentak 2018 sedikit banyak akan membantu parpol untuk meraih hasil maksimal pada Pilpres 2019.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpendapat, parpol memandang pilkada serentak 2018 merupakan ajang pemanasan sebelum Pilpres 2019. Oleh sebab itu, penting bagi parpol untuk meraih kemenangan pada pilkada serentak 2018 untuk menunjukkan eksistensinya.
Namun, menurut Titi, fenomena calon tunggal merupakan anomali karena membuat parpol menenggelamkan eksistensinya sendiri.