JAKARTA, KOMPAS — Primordialisme atau sentimen etnis, agama, dan daerah asal dalam pemilihan kepala daerah tetap marak terjadi, khususnya di Nusa Tenggara Timur. Sentimen itu terjaga karena kandidat masih menggunakan pendekatan primordial yang membentuk ikatan emosional dengan pemilih.
Terdapat empat pasangan calon yang akan berlaga dalam Pilkada 2018. Pasangan pertama adalah Esthon L Foenay-Christian Rotok yang diusung Partai Gerindra dan PAN; Marianus Sae-Emmilia Nomleni dari PDI-P dan PKB; Benny K Harman-Benny A Litelnoni dari Demokrat, PKPI, dan PKS; serta Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi yang diusung Partai Golkar, Nasdem, dan Hanura.
Keempat calon tersebut memiliki empat unsur yang sama, yaitu agama Katolik dan Protestan serta suku Timor dan Flores. Esthon L Foenay- Christian Rotok dan Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi memiliki unsur Timor-Protestan yang wakilnya adalah seorang Flores-Katolik.
Sementara itu, Benny K Harman-Benny A Litelnoni adalah pasangan yang memiliki unsur seorang Katolik dari Manggarai dengan basis kultural di Flores dengan seorang Protestan dari Timor. Begitu pula dengan Marianus Sae-Emmilia Nomleni.
Ketua Prodi Ilmu Administrasi Pascasarjana Universitas Nusa Cendana (Undana), Ajis Salim Adang Djaha, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (25/6/2018), menyatakan, salah satu aspek untuk mencapai demokrasi yang ideal adalah pemilih bersifat rasional dalam memilih dengan mengedepankan tujuan bangsa dan negara.
”Namun, fakta di lapangan adalah sebagian pemilih di NTT masih emosional karena indikator memilih berdasarkan identitas calon,” kata Ajis. Bahkan, ujarnya, kecenderungan pemilih tersebut cenderung dimanfaatkan oleh para pasangan calon ketika berkoalisi ataupun berkampanye.
Ia melanjutkan, tingkat pendidikan pemilih yang rendah dapat menjadi salah satu penyebab mengapa pemilih tidak melihat kompetensi, rekam jejak, ataupun program pasangan calon ketika berkampanye.
Badan Pusat Statistik dalam Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Nusa Tenggara Timur 2016 menyebutkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di NTT menempati peringkat ke-32 dari 34 provinsi dengan nilai 63,13.
Kendati demikian, Ajis menekankan, pengaruh IPM terhadap pengaruh primordialisme dalam politik belum sepenuhnya tepat. Kecenderungan untuk memilih berdasarkan etnis, agama, dan asal daerah terlihat pada berbagai lapisan masyarakat.
”Masyarakat berpikir, ’Siapa lagi yang mau memperjuangkan daerah kita kalau bukan orang kita?’” ujar Ajis.
Kecenderungan pemilih untuk memilih berdasarkan ikatan emosional terlihat ada di beberapa penduduk. Anton Wewo (61), salah satu penduduk Kelurahan Bakunase, Kecamatan Oebobo, Kupang, misalnya, mendukung Esthon berdasarkan citra kebapakan yang Esthon miliki. Ditambah lagi, Esthon dinilai mampu mengayomi Kota Kupang, di mana berbagai suku tinggal di ibu kota NTT itu.
Sejak tahun 2013, Anton telah mendukung Esthon yang saat itu juga sedang mencalonkan diri sebagai calon gubernur. Bahkan, ia kini menjadi salah satu anggota tim sukses Esthon-Christian.
Ketika ditanya apakah ia mengetahui program yang diusung pasangan calon Esthon-Christian pada pemilu tahun ini, Anton mengaku tidak tahu. ”Intinya ia ingin membuat semuanya menjadi lebih baik,” ujarnya.
Namun, kecenderungan memilih berdasarkan sentimen agama setidaknya tidak dialami oleh seluruh pemilih di NTT. Engelbertus Kase (30), penduduk Kelurahan Soe, Kecamatan Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, adalah contohnya.
Pada awalnya, ia memilih seorang paslon berdasarkan karakter tegas yang dimiliki pasangan calon tersebut. Ia kemudian memutuskan untuk memilih Viktor ketika pasangan calon pertama yang ia dukung terjerat kasus korupsi. ”Saya memilih Viktor karena program pendidikan yang ia usung,” ujarnya.
Ajis menekankan, primordialisme dalam berpolitik harus dihilangkan karena hasil pemilu dapat sangat berbeda dengan yang diharapkan oleh masyarakat jika pendekatan tersebut terus digunakan.
”Syukur-syukur pasangan calon yang terpilih memiliki kompetensi yang sesuai. Bagaimana kalau tidak?” katanya. Selain itu, primordialisme dapat menciptakan semacam utang politik terhadap kelompok tertentu, di mana kepentingan masyarakat umum dapat terancam.