Dortmund, 4 Juli 2006, sepuluh menit menjelang tengah malam. Wajah-wajah murung membuat suram ruang ganti tim nasional Jerman di Westfalenstadion. Philipp Lahm mematung di ujung kasur pijat, kepalanya tertunduk. Mata kapten tim Michael Ballack sembab, pandangannya kosong. Penjaga gawang Jens Lehmann yang biasanya menebar aura sangar terlihat rapuh di samping manajer timnas Jerman Oliver Bierhoff yang mati gaya.
Malam itu, Jerman baru saja dipukul 2-0 oleh Italia dalam perebutan tiket ke final Piala Dunia 2006. Kemurungan itu kontras dengan tujuh pekan sebelumnya, saat mereka menjalani pemusatan latihan di resor Forte Village, Sardinia, Italia.
Para pemain begitu ceria, bermain voli pantai dan tenis, di sela-sela latihan. Suasana pantai yang berlimpah matahari menyuntikkan energi positif dalam diri setiap pemain Jerman.
Energi positif yang berembus dari lautan itu yang ingin ditangkap Pelatih Joachim Loew setelah Jerman kalah 0-1 dari Meksiko pada laga pembuka Grup F Piala Dunia 2018. Loew memindahkan lokasi latihan Jerman dari Moskwa ke Sochi di tepi Laut Hitam.
Jerman menyerap energi lautan, mereka menggempur pertahanan Swedia bak ombak yang tak lelah menghantam pantai. Jerman memetik kemenangan 2-1 dengan 10 pemain sejak bek Jerome Boateng diusir wasit pada menit ke-82.
Laga di Stadion Fisht, Sochi, Minggu (24/6/2018) dini hari WIB, itu membuat Jerman menjadi pengendali nasibnya sendiri. Mereka membuka lebar peluang lolos ke babak 16 besar. Jerman perlu melibas Korea Selatan minimal dengan selisih dua gol di laga terakhir grup pada 27 Juni pukul 21.00 WIB.
Hal itu tidak mudah karena masih ada 15 skenario di Grup F bagi setiap tim lolos ke fase gugur. Di laga lain, Meksiko kontra Swedia juga panas. Meksiko berjuang menjuarai grup untuk bisa mengakhiri kutukan tak pernah mencapai quinto partido, laga kelima, alias lolos ke perempat final, dalam enam Piala Dunia terakhir.
Tantangan Jerman belum berakhir karena Piala Dunia, menurut Loew, adalah survival of the fittest, hanya yang terbaik yang akan bertahan dan menjadi juara. Itulah mengapa Jerman menggunakan semboyan ”Best NeVer Rest” di Piala Dunia kali ini. Loew sekali lagi menegaskan bahwa untuk meraih gelar kelima juara dunia yang disimbolkan dengan abjad Romawi ”V” membuat setiap pemain memikul tuntutan yang ”tidak manusiawi”.
Kemenangan dramatis atas Swedia, melalui tendangan Toni Kroos, saat tambahan waktu 5 menit tersisa 20 detik itu, baru awal dari ”seleksi alam” di Piala Dunia. Ini juga bisa menjadi awal dari sommermärchen, sebuah kisah di musim panas.
Sommermärchen dijadikan judul film dokumenter tim nasional Jerman yang mengisahkan perjalanan menjelang dan selama Piala Dunia 2006, yang sebagian dicuplik di awal tulisan ini. Jika 2006 diawali keceriaan dan berakhir nestapa, Marco Reus dan kawan-kawan mengawali dengan murung dan bisa menutupnya dengan ceria. Permainan Reus ”Si Roket” yang energik, berani, dan tak kenal lelah di Sochi menyiratkan harapan yang cerah.
Permainan pembangkit asa itu merupakan buah revolusi sepak bola Jerman setelah terpuruk di Piala Eropa 2000. Jerman melahirkan generasi pemain yang menampilkan gaya permainan yang sangat dinamis, cepat, agresif menyerang, dan indah pada Piala Dunia 2006. Jerman pun menjadi ”dermawan” bagi para ”pengemis” sepak bola menawan.
Dongeng skuad Jerman pada musim panas 2006 itu berulang pada musim panas 2010 di Afrika Selatan, hingga juara di Brasil 2014. Musim panas kali ini di Rusia, Jerman berpotensi kembali menuliskan dongeng yang akan terus menjadi buah bibir.
”Ini bisa menjadi titik balik yang penting,” ujar Thomas Mueller tentang kemenangan atas Swedia, yang dikutip dari Sueddeutsche. ”Kupu-kupu sekarang terbang tinggi,” kata Mueller lagi.
Ya, Jerman seperti kupu-kupu yang lepas dari kepompong, tetapi warnanya belum sempurna. Kesalahan di lini tengah dan belakang masih terjadi. Setelah Boateng diganjar kartu merah dan cedera yang dialami Mats Hummels, Jerman akan mengandalkan para pemain bertahan yang belum berpengalaman di Piala Dunia. Ini berisiko karena Loew gemar menyerang dengan delapan pemain.
Kini, untuk menulis ulang sommermärchen, mereka meresapi kalimat dalam buku Die Nationalmannschaft-One Night in Rio yang terbit setelah Jerman jadi Juara Dunia 2014, ”Brasil memiliki Neymar, Argentina memiliki Messi, Portugal memiliki Ronaldo, dan Jerman memiliki sebuah tim”. (ANG)