Cermati Rekam Jejak dan Integritas Calon Kepala Daerah
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Awal 2018, delapan kepala daerah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Empat di antaranya merupakan calon kepala daerah yang bakal berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah serentak 2018. Fakta itu menjadi sinyal waspada bagi masyarakat untuk jeli dan rasional memilih pemimpin mereka dalam Pilkada 2018.
Keliru memilih pemimpin berarti kerugian bagi masyarakat selama lima tahun mendatang. Sikap apatis masyarakat tidak akan mengubah keadaan daerahnya. Satu-satunya jalan adalah terlibat dalam pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih kepala daerah. Namun, masyarakat dihadapkan pada pilihan calon kepala daerah yang terindikasi korupsi.
Berdasarkan catatan Kompas, empat calon kepala daerah yang tersangkut kasus dugaan korupsi adalah Nyono Suharli Wihandoko di Kabupaten Jombang, Jawa Timur; Imas Aryumningsih di Subang, Jawa Barat; Marianus Sae di Ngada, Nusa Tenggara Timur; dan Mustafa di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Jimmy Z Usfunan, mengatakan, calon kepala daerah yang terindikasi korupsi tetap berpotensi memenangkan pilkada serentak. Hal itu karena tingkat pendidikan masyarakat sangat variatif. Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah cenderung memilih kepala daerah berdasarkan pada sosok atau figur semata.
”Jadi, meski ada kasus yang menjerat calon kepala daerah, masyarakat itu tidak peduli dan tetap memilih dia,” ujar Jimmy dihubungi dari Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Jimmy mengatakan, pada pilkada serentak 2018 masyarakat dihadapkan pada persoalan memilih pemimpin yang berintegritas. Dengan memilih pemimpin yang berintegritas, penyalahgunaan kekuasaan di kemudian hari bisa dihindari. Masyarakat mesti menilik rekam jejak calon kepala daerah yang bersangkutan. Selain itu, visi dan misi calon kepala daerah menjadi penting untuk disimak.
Pemilu cerdas
Dihubungi terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Denpasar, Bali, GBP Suka Arjawa, berpendapat, pemilu di Indonesia belum bisa disebut sebagai pemilu cerdas. Arjawa juga mengatakan, prinsip demokrasi belum tecermin dari pemilu yang berlangsung di Indonesia selama ini.
Bagi Arjawa, masyarakat harus cerdas dan rasional dalam memilih calon pemimpin mereka. Dalam artian, masyarakat memilih pemimpin berdasarkan kebijakan dan bukan karena ada ”iming-iming”.
Ia mencontohkan, jelang pilkada di Bali, pihak-pihak yang berkontestasi melakukan manuver dengan mengiming-imingi konstituen bakal memperbaiki pura atau balai banjar.
”Demokrasi itu tidak begitu. Demokrasi berarti masyarakat cerdas dan bebas dalam menentukan pilihan berdasarkan hati nurani mereka, bukan karena ada iming-iming,” kata Arjawa.