Dibekuknya pengelola grup paedofil tidak memupus grup serupa di media sosial. Anggota grup justru potensial mendirikan grup baru.
Oleh
Wisnu Aji Dewabrata
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Polisi meringkus tiga tersangka pengelola grup dan penyebar foto dan video pornografi anak melalui aplikasi Whatspp, Telegram, dan Facebook. Ketiga tersangka pernah menjadi anggota grup paedofil “Loli Candy” di Facebook yang beranggotakan lebih dari 7.000 orang lintas negara.
Sebelumnya, lima pengelola grup Loli Candy telah ditangkap oleh Subdit Kejahatan Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Maret 2017.
Adapun ketiga tersangka yang baru ditangkap adalah WR (19) ditangkap di Tangerang, AD (33) di Palembang, dan IW (26) di Jakarta Timur.
Kepala Unit 3 Subdit Kejahatan Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Komisaris Haerudin, Senin (25/6/2018), mengatakan, para tersangka pernah bergabung dengan grup Loli Candy. Setelah pengelola Loli Candy dibekuk, ketiganya keluar dari grup karena takut.
Ketiga tersangka lalu membuat grup-grup baru dengan konten paedofil. Jumlah anggota grup lebih kecil. Penangkapan ini merupakan pengembangan dari pengungkapan kasus Loli Candy setahun silam.
“Para tersangka tidak saling kenal. Mereka membuat grup yang terdiri dari 40 kanal. Setiap kanal anggotanya 200 orang. Jadi jumlah anggota mencapai ribuan orang dari 63 negara. Sementara motifnya adalah kepuasan seksual,” kata Haerudin.
Menurut dia, penangkapan berawal dari data anggota grup Loli Candy di Polda Metro Jaya yang diserahkan ke Biro Penyelidik Federal AS (FBI). FBI mengolah data dan menginformasikan data para pelaku ke polisi di 23 negara.
Penangkapan dilakukan serentak antara lain di El Salvador, Cile, dan Guatemala. Kepolisian Guatemala menangkap 13 tersangka.
FBI juga mendeteksi munculnya grup-grup baru, termasuk yang dikelola ketiga tersangka.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengutarakan, para pelaku dikenakan Undang-Undang ITE, UU Pornografi, dan UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar. Menurut Argo, masyarakat harus berhati-hati dengan cara mengawasi penggunaan media sosial.
Literasi media sosial
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, dari wawancara dengan para tersangka, disimpulkan bahwa literasi media sosial pada anak sangat diperlukan.
Literasi media sosial dimulai sejak SD sampai SMA di sekolah karena usia tersebut usia rawan mengakses internet. “Masyarakat belum mempunyai literasi yang cukup tentang penggunaan media sosial, termasuk orangtua. Literasi media sosial penting diberikan supaya anak tidak menjadi korban,” kata Susanto.
Komisioner Bidang Pornografi dan Cybercrime KPAI Margaret Aliyatul Maimunah mengungkapkan, Polda Metro Jaya harus melanjutkan penyelidikan karena anggota grup besar seperti Loli Candy membuat sel grup yang lebih kecil.
Grup-grup kecil juga melakukan penyebaran konten pornografi sehingga harus dicegah.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menambahkan, ada salah satu tersangka berusia 19 tahun. Tersangka tiba-tiba bergabung dengan grup paedofil akibat kurangnya pengawasan dan kebersamaan dalam keluarga.
Seto mendesak polisi melakukan penyelidikan, adakah anak Indonesia yang menjadi korban dalam foto dan video pornografi anak. “Siapa tahu ada anak Indonesia yang jadi korban. Sementara ini hanya foto dan video anak dari luar negeri.”