Izin Lahan Dikorupsi
Bupati (nonaktif) Kutai Kartanegara Rita Widyasari dituntut 15 tahun penjara dan hak politiknya dicabut hingga lima tahun seusai menjalani pidana pokok.
JAKARTA, KOMPAS - Tidak mengakui perbuatan yang dilakukan menjadi unsur yang memberatkan dalam tuntutan jaksa terhadap bupati (nonaktif) Kutai Kartanegara Rita Widyasari dan komisaris PT Media Bangun Bersama, Khairudin.
Dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (25/6/2018), jaksa berpendapat, Rita dan Khairudin telah melakukan gabungan tindak pidana korupsi dalam kurun waktu Juni 2010 hingga Agustus 2017. Mereka telah menerima hadiah berupa uang atas penerbitan perizinan di lingkungan dinas lingkungan hidup dan para kontraktor pelaksana proyek di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan jumlah seluruhnya Rp 248,994 miliar.
Atas perbuatannya itu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Rita dengan hukuman 15 tahun penjara dan membayar denda Rp 750 juta atau subsider 6 bulan kurungan. Sementara itu, Khairudin yang juga mantan anggota DPRD Kutai Kartanegara sekaligus staf Rita dituntut 13 tahun penjara dengan denda Rp 750 juta atau subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa juga menjatuhi tuntutan pidana tambahan terhadap dua terdakwa, yakni pencabutan hak politik selama 5 tahun seusai menjalani pidana pokok.
”Rita Widyasari selama menjalankan kedudukannya cenderung berperilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme karena itu perlu kiranya mencabut hak Rita untuk dipilih atau menduduki jabatan publik. Hal ini untuk menciptakan efek jera bagi pelaku kejahatan dan orang lain yang mau melakukan kejahatan,” ujar jaksa KPK, Ahmad Burhanuddin.
Izin lahan
Jaksa mengatakan, para terdakwa telah mengetahui atau menyadari bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai imbalan atau fee dari pihak-pihak tersebut agar Rita menerbitkan perizinan di lingkungan dinas lingkungan hidup dan berikan proyek pekerjaan di Kabupaten Kutai kepada para kontraktor. Namun, tindakan itu tidak diakui mereka.
”Sementara hal-hal yang memberatkan perbuatan bagi kedua terdakwa adalah tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tipikor, berbelit-belit dalam persidangan, dan tidak berterus terang mengakui perbuatannya,” ujar Ahmad Burhanudin,
Dalam surat tuntutan, jaksa menjelaskan, Rita menerima gratifikasi dari beberapa perusahaan setiap kali ada permohonan perizinan di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara sejak periode Juni 2010 hingga Agustus 2012.
Besarnya gratifikasi yang diterima Rita bersama dengan Khairudin adalah Rp 248,9 miliar. Mereka juga menerima suap Rp 6 miliar dan Rp 5 miliar dari pemilik PT Golden Sawit Prima, Hery Susanto Gun alias Abun.
Atas tindakannya ini, jaksa berpendapat, Rita dan Khairudin melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Kesatu KUHP juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Jaksa berpendapat, Rita menerima suap dari Abun saat ia mengajukan izin lahan. Padahal, lahan tersebut sudah menjadi hak orang lain.
Sebagai kompensasi terbitnya izin, Rita menerima suap Rp 6 miliar dalam dua kali transaksi pada 2010. Pertama, tanggal 22 Juli Rp 1 miliar dan kedua pada 5 Agustus Rp 5 miliar.
Abun dan Rita menyamarkan transaksi suap tersebut dengan bentuk jual-beli emas batangan sebanyak 15 batang.
Suap kembali diterima Rita dari Abun Rp 5 miliar pada 22 November 2010. Uang tersebut dimanfaatkan Rita untuk membeli rumah di Jakarta Selatan.
Sampai dengan saat ini, KPK sedang melakukan penyidikan dugaan tindak pidana pencucian uang berdasarkan surat perintah penyidikan terhadap Rita dan Khairudin. Acara persidangan selanjutnya akan digelar pada Senin, 2 Juli 2018, dengan agenda pembacaan pleidoi dari para terdakwa.