JAKARTA, KOMPAS – Perilaku merokok orangtua meningkatkan kemungkinan kejadian stunting (tubuh pendek) pada anaknya, dan berkontribusi pada kemiskinan rumah tangga tersebut. Untuk itu, penurunan angka stunting dan pencegahan kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang kuat.
Demikian hasil studi dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia yang dipaparkan pada Senin (25/6/2018) di Jakarta. Studi tersebut memanfaatkan data panel Indonesia Family Life Surveys (IFLS) tahun 2007-2014.
Peneliti studi itu yang sekaligus Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto, mengatakan, rokok bersifat adiktif. Oleh karena itu, bagi seorang perokok, merokok menjadi hal yang prioritas sehingga kepentingan lain seperti memenuhi asupan makanan bergizi dan pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia dikesampingkan.
Hasil studi tersebut menunjukkan, anak yang memiliki orangtua perokok memiliki kemungkinan 5,5 persen lebih besar untuk menjadi stunting. Anak dari orangtua perokok memiliki pertumbuhan berat badan rata-rata 1,5 kilogram lebih rendah dibandingkan anak dari orangtua bukan perokok. Selain itu, anak dari orangtua perokok juga memiliki tinggi badan 0,34 sentimeter lebih rendah dibandingkan anak dengan orangtua bukan perokok.
Anak yang memiliki orangtua perokok memiliki kemungkinan 5,5 persen lebih besar untuk menjadi stunting.
Setelah memperhitungkan sejumlah faktor seperti genetika, pemberian ASI, konsumsi pil anemia saat hamil, kemiskinan rumah tangga, akses listrik dan air bersih, terbukti bahwa anak-anak dari keluarga perokok cenderung mengalami stunting terus menerus dalam periode observasi.
Setelah dilakukan tes logika dan matematika, kecerdasan anak stunting lebih rendah dari anak yang tidak stunting. Artinya, perilaku merokok orangtua memengaruhi kecerdasan anak secara tidak langsung.
Hasil penelitian itu serupa dengan sejumlah penelitian lain. Antara lain, penelitian yang dilakukan oleh dokter paru dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan, Sita Andarini, pada tahun 2011.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan, berat badan bayi baru lahir dari ibu perokok aktif rata-rata 2,263 kilogram dari ibu perokok pasif 2,663 kilogram, dan dari ibu bukan perokok (tidak ada anggota keluarga di rumah yang merokok) 3,295 kilogram.
Adapun panjang bayi yang dilahirkan dari ibu perokok rata-rata 45 sentimeter, bayi lahir dari ibu perokok pasif 46,6 sentimeter, dan bayi lahir dari ibu bukan perokok 51,5 sentimeter.
Banyak efeknya
Ketua Satgas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Bernie Edyarni Medise, mengatakan, rokok banyak efeknya, antara lain penyempitan pembuluh darah, merokok juga menyebabkan suplai oksigen dalam darah menurun sehingga suplai oksigen ke plasenta juga terganggu. Akibatnya, besar kemungkinan anak lahir prematur, berat badan lahir rendah (BBLR), cacat, atau bahkan meninggal. Asap rokok juga mengganggu penyerapan gizi anak yang pada akhirnya akan mengganggu tumbuh kembang anak.
Asap rokok juga mengganggu penyerapan gizi anak yang pada akhirnya akan mengganggu tumbuh kembang anak.
Teguh mengatakan, perilaku merokok orangtua juga terkait erat dengan jebakan kemiskinan. Peningkatan pengeluaran rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan probabilitas rumah tangga tersebut menjadi miskin sebesar 6 persen. Ini terjadi karena pengeluaran yang bersifat produktif dikalahkan oleh konsumsi rokok.
Ahmad Avenroza, Kepala Subdirektorat Kerawanan Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), menuturkan, rokok terutama rokok kretek filter selalu berada di posisi kedua dalam sumbangannya pada kemiskinan setelah beras.
Di perkotaan, rokok menyumbang 9,98 persen terhadap garis kemiskinan dan di pedesaan menyumbang 10,7 persen. “Meskipun cukai rokok naik konsumsinya juga naik,” ujar Ahmad.
Rokok menyumbang 9,98 persen terhadap garis kemiskinan dan di pedesaan menyumbang 10,7 persen.