Pelajaran yang Tak Kunjung Selesai di Toba
Tragedi tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun yang membawa serta paling tidak 184 penumpangnya di Danau Toba, Sumatera Utara, pada 18 Juni 2018 mengingatkan kita pada kasus serupa sekitar 21 tahun lalu. Saat itu, 13 Juli 1997, Kapal Motor Peldatari I tenggelam di danau vulkanik terbesar di dunia ini, 84 orang selamat dan 83 orang tewas.
Duka pun menyelimuti kawasan Danau Toba. Setelah tenggelamnya KM Peldatari I, suasana berkabung menyelimuti desa-desa di Pulau Samosir, bendera merah dipancangkan di sudut-sudut desa tanda berkabung (Kompas, 16 Juli 1997). Banyak warga kehilangan sanak saudaranya, bahkan ada suami istri yang kehilangan 8 anak perempuan mereka.
Banyak warga kehilangan sanak saudaranya, bahkan ada suami istri yang kehilangan 8 anak perempuan mereka.
Pun saat ini, ada warga yang kehilangan 8 anggota keluarganya (Kompas, 22 Juni 2018). Ratusan orang meratapi keluarga mereka yang tenggelam bersama KM Sinar Bangun. Hingga kini, setiap hari mereka berkerumun di pinggir danau menanti dan berharap saudara-saudara mereka dapat ditemukan meski hanya jenazahnya.
Ucapan duka mengalir dari berbagai kalangan, termasuk para pejabat yang menyatakan prihatin dan menyesalkan kejadian tersebut. Pelayaran yang tidak memenuhi standar pun menjadi kambing hitam, nakhoda dan pemilik kapal menjadi tumpuan kesalahan karena dinilai tidak mematuhi ketentuan pelayaran.
Kedua kapal motor tersebut sama-sama melebihi kapasitas. Kapasitas maksimal KM Peldatari I hanya 60 orang, sedangkan kapasitas KM Sinar Bangun hanya 40 orang. Bukan hanya dua kapal tersebut, dalam catatan Kompas sejak 1968, dari 7 kasus kapal tenggelam di Danau Toba, sebagian besar sarat penumpang, bahkan melebihi kapasitas. Tidak ada manifes, demikian pula alat keselamatan yang memadai di kapal.
Dalam catatan Kompas sejak 1968, dari 7 kasus kapal tenggelam di Danau Toba, sebagian besar sarat penumpang, bahkan melebihi kapasitas.
Tumpuan kesalahan selanjutnya adalah pihak yang mengawasi pelaksanaan dan pengamanan pelayaran rakyat di perairan Danau Toba, baik dinas perhubungan kabupaten/provinsi maupun Lalu Lintas Angkutan Sungai dan Danau (LLASD). Namun, ini justru membuahkan ”perdebatan” tak berujung tentang siapa yang paling bertanggung jawab di sini.
Meskipun demikian, tekad pun ”dicanangkan” untuk menjadikan tragedi tenggelamnya KM Peldatari I sebagai pelajaran berharga. Pihak-pihak terkait, terutama aparat pemerintah daerah dan pemerintah pusat, menyatakan bahwa kejadian seperti itu tak boleh terulang lagi.
Bahkan, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara waktu itu menggelar upacara adat mangan sipaet-paet, yaitu tradisi suku Batak untuk berdoa bersama, meminta kepada Tuhan, agar peristiwa serupa tak terulang (Kompas, 19 Juli 2019).
Dari sisi teknis, diakui bahwa banyak hal yang harus dibenahi. Pembenahan mulai dari kelaikan kapal rakyat karena saat itu dari sekitar 150 kapal yang beroperasi, hanya 25 persen yang memenuhi persyaratan laik layar (Kompas, 18 Juli 1997). Kemudian, persyaratan keselamatan kapal, termasuk ketentuan adanya manifes, koordinasi antarinstansi terkait, dan pengawasan.
Hanya sesaat
Namun, janji untuk membenahi pelayaran rakyat tersebut seolah hanya menjadi pelipur lara sesaat bagi keluarga korban, sama seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Setelah tenggelamnya KM Saor Nauli pada 13 April 1987 yang membawa serta 32 penumpangnya (warga Samosir mengklaim 42 orang), misalnya, pelayaran rakyat yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi andalan angkutan barang dan manusia di kawasan Danau Toba juga dievaluasi.
Bahkan, para tokoh masyarakat dan tokoh agama pun dilibatkan untuk membenahi pelayaran rakyat ini (Kompas, 20 April 1987). Ini untuk mengantisipasi gejolak sosial masyarakat di kawasan Toba turun-temurun memiliki dan mengelola kapal-kapal rakyat karena pembenahan berarti perubahan, termasuk kebiasaan masyarakat, yang harus mengikuti peraturan yang berlaku.
Hasilnya? Tak terdengar. Tekad yang dicanangkan untuk membenahi pelayaran di Danau Toba semakin samar, dan lama-lama hilang seiring perjalanan waktu. Pemerintah, masyarakat, dan kita semua pun seakan lupa akan tragedi yang merenggut ratusan korban jiwa tersebut.
Pemerintah, masyarakat, dan kita semua pun seakan lupa akan tragedi yang merenggut ratusan korban jiwa tersebut.
Pelayaran rakyat beroperasi seperti semula, bak opelet kota yang bebas mengangkut penumpang. Manusia dan barang berebut tempat di kapal, yang penting naik dulu baru bayar di atas (kapal). Tidak ada yang mengingatkan, mempertanyakan, apalagi menagih janji pembenahan pelayaran rakyat tersebut.
Kita baru tersadar (ingat) lagi ketika tragedi kapal tenggelam terulang lagi seperti saat ini. Narasi berulang. Semua kembali angkat bicara soal standar kelayakan dan keamanan kapal-kapal yang beroperasi di perairan Danau Toba. Pelayaran yang tidak memenuhi standar kembali menjadi kambing hitam, nakhoda dan pemilik kapal pun kembali menjadi tumpuan kesalahan.
Pengawasan pelaksanaan dan keamanan pelayaran dipertanyakan, demikian juga koordinasi antarinstansi terkait. Dan, semua berharap kejadian serupa tak terulang lagi.
Selain upaya pencarian korban tenggelam dengan mengerahkan sumber daya yang ada, pemerintah kembali bertekad membenahi pelayaran rakyat yang beroperasi di Danau Toba. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi membentuk tim ad hoc yang bertugas mengatasi permasalahan pelayaran di Danau Toba. Tim ini akan memperbaiki sistem pelayanan pelayaran, serta melakukan fungsi pengawasan guna mengantisipasi kecelakaan (Kompas.id, 25 Juni 2018).
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi membentuk tim ad hoc yang bertugas mengatasi permasalahan pelayaran di Danau Toba.
Upaya yang tidak sederhana karena paling tidak terdapat 100 kapal rakyat dan 30 dermaga di Pulau Samosir. Belum lagi koordinasi antarinstansi dan juga antardaerah di kawasan Danau Toba. Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara Darwin Purba pun mengakui, banyak yang harus dibenahi dalam tata kelola pelayaran di Danau Toba (Kompas, 23 Juni 2018).
Mengingat kawasan Danau Toba adalah daerah tujuan wisata unggulan, pembenahan pelayaran rakyat tersebut hendaknya diselaraskan dengan pengelolaan kawasan wisata. Komitmen pemerintah daerah yang berada di kawasan Danau Toba tak bisa ditawar lagi.
Kesungguhan dan konsistensi semua pihak, terutama pemerintah, menjadi kunci. Tragedi tenggelamnya KM Sinar Bangun harus benar-benar menjadi pelajaran terakhir. Tujuh kapal tenggelam di perairan Danau Toba dengan ratusan korban jiwa sudah terlalu banyak tidak boleh terjadi lagi.