Perusahaan global Unilever mengambil langkah tegas. Mereka tidak akan menggunakan akun-akun orang berpengaruh yang diketahui membeli pengikut (follower). Langkah tegas ini menyingkap sisi gelap pemasaran digital yang berbasis pada perhitungan kenampakan, jangkauan, dan juga popularitas sebuah merek produk di dunia maya.
Unilever telah meminta industri pemasaran menghentikan upaya orang-orang berpengaruh (influencer) membeli pengikut dan juga menata ulang merek-merek yang berada di akun-akun yang melakukan tindakan tercela itu.
Perusahaan ini tidak menyebut akun-akun yang melakukan tindakan itu. Namun, mereka akan bekerja dengan partner yang mau melakukan transparansi dan mau mencegah praktik-praktik yang tidak benar.
Unilever, seperti dikutip dari berbagai media, berkepentingan dengan cara-cara pemasaran yang baik dan benar karena dalam setahun mereka menggelontorkan anggaran iklan sebesar 9,5 miliar dollar AS. Sebanyak 2,5 miliar dollar AS di antaranya untuk iklan digital.
Orang-orang berpengaruh itu sendiri berlomba untuk mendapatkan penghasilan melalui akun-akunnya. Untuk satu selebritas dunia, biaya satu kali unggah materi iklan di akun-akun mereka berbiaya sekitar 100.000 dollar AS. Biaya ini akan lebih mahal ketika mereka mempromosikan pakaian atau mode lainnya.
Perilaku tidak terpuji di dalam pemasaran digital sebenarnya disikapi secara kritis oleh beberapa kalangan sejak beberapa waktu lalu. Lalu lintas di sebuah laman yang juga bisa dipalsukan dengan menggunakan perangkat lunak sehingga pemasang iklan bisa terpukau dengan lalu lintas yang ramai di sebuah laman. Pemasangan aplikasi juga menjadi ladang untuk melakukan pemalsuan. Rata-rata global sebanyak 15 di dalam 100 pemasang aplikasi adalah palsu atau sebanyak 15 persen.
Menurut Data Visor, kasus pemasang palsu ini di Indonesia sekitar 3,1 persen. Ada juga teknologi yang disebut komentar otomatis (autocomment) seperti di Instagram dan media sosial lainnya.
Semua itu karena dorongan untuk mendapatkan bagian dari iklan digital yang besar. Para pelaku kejahatan ini tidak akan berhenti meski mulai terungkap berbagai cara. Dalam salah satu kajiannya, Searchenginewatch menyebutkan, pada tahun 2025 industri pemalsuan ini akan meraup sekitar 50 miliar dollar AS. Oleh karena itu, perusahaan harus waspada dengan berbagai penipuan-penipuan di dalam industri pemasaran digital.
Ada panduan secara umum bagi perusahaan, semisal teknologi, untuk optimalisasi iklan digital bisa menyajikan informasi setiap saat. Namun, pemasar tetap harus melihat kemampuan manusia lebih berharga dalam pengambil keputusan, pemasar harus mengelola data dan tidak memasrahkan semuanya kepada teknologi, dan pemasar membutuhkan kemampuan untuk menganalisis di tengah data yang melimpah.
Pemasar disarankan tidak percaya dengan teknik yang tunggal dalam jangka lama karena teknologi akan berubah cepat. Teknologi yang membuat nyaman kadang membuat pemasar terlena sehingga mereka tidak mau memperbarui teknologi.
Di dalam pelaksanaannya, yaitu operasi pemasaran digital, pemasar harus memantau dan menyadari kemungkinan munculnya pemberian emotikon palsu, pengikut, dan pelanggan palsu, baik di akun mereka sendiri maupun di akun orang berpengaruh yang ikut mempromosikan produk mereka. Dengan demikian, mereka bisa mendeteksi sejak awal kemungkinan terjadi penipuan, baik disengaja oleh para pemilik akun maupun orang lain.
Mereka juga harus jeli melihat laporan analisis media digital yang biasa disediakan agensi atau pihak ketiga agar tidak begitu saja terpukau dengan laporan yang berlebihan. Tindakan memantau secara maksimal bisa sekaligus digunakan untuk membersihkan akun-akun media sosial mereka ataupun akun orang berpengaruh dari pengikut yang tidak berkualitas dan juga keterkaitan (engagement) yang menipu.
Pemasaran digital sepertinya memasuki era di mana tidak cukup hanya dengan ikut-ikutan mengadopsi teknologi digital atau eforia semata, tetapi juga dengan tata kelola yang benar.