JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Kejahatan Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menangkap lima tersangka pengelola jaringan paedofil di dunia maya bernama Official Loli Candy’s Group, Maret 2017. Grup besar itu memiliki anggota lebih dari 7.000 orang di 63 negara, termasuk Indonesia, yang berbagi ribuan foto dan video pornografi anak melalui grup di Facebook, Whatsapp, dan Telegram.
Penangkapan terhadap pengelola grup paedofil terus dilakukan, tetapi tidak membuat pelakunya berhenti menikmati pornografi anak. Polda Metro Jaya kembali melakukan penangkapan pada Juni 2018 dan menetapkan tiga tersangka pengelola grup paedofil, yaitu WH (19), AK (33), dan IW (26).
”Ketiga tersangka itu dulunya anggota grup Loli Candy. Setelah pengelolanya ditangkap, mereka keluar dari grup, lalu membuat grup baru yang anggotanya ribuan,” ujar Kepala Unit 3 Subdit Kejahatan Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Komisaris Haerudin, Selasa (26/6/2018).
Menurut Haerudin, Subdit Kejahatan Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya bekerja sama dengan Biro Investigasi Federal AS (FBI) melacak jaringan paedofil global yang berinteraksi melalui internet. Hasilnya, ada 23 pelaku yang diduga berada di Indonesia. Tiga orang di antaranya telah ditangkap.
”Kami masih melakukan penyelidikan terhadap 20 orang lainnya,” katanya.
Psikolog klinis forensik Kasandra Putranto mengungkapkan, seseorang menyukai pornografi karena butuh mencari kesenangan, sedangkan kemampuan memperoleh kesenangan dari dalam diri minim. Akhirnya, kesenangan itu diperoleh melalui tontonan pornografi.
Menurut Kasandra, ada faktor lain juga, yaitu mudahnya mengakses konten pornografi, kurangnya pengawasan orangtua terhadap kegiatan anak, faktor hormon pubertas dini, dan faktor khas pada otak yang dapat mendorong kecanduan pornografi.
”Yang paling penting adalah memastikan melahirkan dan menumbuhkembangkan anak dengan otak yang sehat agar tidak mudah kena adiksi dan tidak mudah stres. Otak yang depresi biasanya mudah kena adiksi,” lanjutnya.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto, yang pernah berbincang dengan para tersangka, mengatakan, tersangka sengaja bergabung dalam grup paedofil di internet. Mereka dengan kemauan sendiri menjadi anggota dan mengikuti aturan dalam grup, yaitu mengunggah foto atau video pornografi anak.
”Kemampuan masyarakat secara umum terhadap internet masih bersifat teknis, misalnya bagaimana cara mengakses internet. Tetapi, hal nonteknis seperti memilih konten positif, menjauhi konten negatif, membedakan hoaks atau bukan masih sangat terbatas,” tutur Susanto.
Peran negara, peran korporasi penyedia jasa internet, peran masyarakat, termasuk orangtua dan guru, lanjutnya, sangat strategis untuk menghadapi dampak pornografi di dunia maya.
Kewaspadaan terhadap bahaya jaringan paedofil di dunia maya bisa dilakukan dari setiap rumah tangga. Itu sangat penting sebelum anak, keponakan, atau keluarga kerabat menjadi korban ataupun pencandu pornografi anak.