Bawaslu akan menemui semua partai politik peserta Pemilu 2019. Momen ini dipakai guna mencegah bekas narapidana korupsi jadi caleg.
JAKARTA, KOMPAS- Badan Pengawas Pemilu akan menyambangi semua partai politik peserta Pemilu 2019 guna meminta agar partai tidak mencalonkan bekas narapidana kasus korupsi sebagai calon anggota legislatif di semua tingkatan. Imbauan ini merupakan bentuk pencegahan agar tidak muncul sengketa pencalonan terkait eks narapidana korupsi.
Terkait rencana itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah membuat surat permohonan audiensi yang akan dikirimkan kepada semua parpol peserta pemilu beberapa hari mendatang. “Kami mau silaturahim dengan peserta pemilu, sekaligus pencegahan terkait caleg bekas napi koruptor. Kami berharap tidak ada partai mencalonkan bekas koruptor,” kata anggota Bawaslu M Afifuddin di Jakarta, Selasa (26/06/2018).
Pertemuan itu direncanakan sudah mulai berjalan sebelum tanggal 4 Juli 2018, saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai membuka pendaftaran anggota DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten dan kota. Kendati Bawaslu akan mengimbau parpol tidak mencalonkan bekas napi kasus korupsi, tetapi Afifuddin menegaskan, sikap Bawaslu terhadap pengaturan pelarangan bekas napi korupsi dalam Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif, tidak berubah. Bawaslu tetap tidak setuju hal tersebut diatur PKPU.
“Semangat kami ingin mengampanyekan agar input caleg baik, bersih, dan tidak bermasalah. Juga untuk meminimalisasi sengketa (pencalonan). Terhadap PKPU Pencalonan, Bawaslu konsisten melihat Undang-Undang Pemilu,” kata Afifuddin.
PKPU Pencalonan Anggota Legislatif mencantumkan bahwa syarat calon bukan bekas narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, serta korupsi. Draf PKPU yang ditandatangani Ketua KPU Arief Budiman sudah dikirim ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), tetapi belum juga diundangkan dengan alasan hal itu bertentangan dengan UU Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi.
KPU berpendapat, Kemenkumham tidak berwenang menyatakan isi PKPU bertentangan dengan UU Pemilu karena merupakan kewenangan Mahkamah Agung melalui mekanisme uji materi. KPU tetap akan menjalankan PKPU kendati tidak diundangkan Kemenkumham. “KPU sudah menetapkan PKPU itu baru kemudian dikirim ke Kemenkumham. Yang kemudian dikembalikan ke KPU,” kata Arief saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut dia, KPU akan segera mengunggah PKPU itu ke laman daring KPU. Namun, terlebih dahulu, KPU akan merevisi halaman pengesahan PKPU dengan mengubah bagian pemberlakuan PKPU, dari semula berbunyi “berlaku sejak diundangkan” menjadi “berlaku sejak ditetapkan”. “Itu yang sedang dikerjakan,” kata Arief.
Kepengurusan Hanura
Adapun berkait sengketa kepengurusan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan kubu Daryatmo-Sarifuddin Sudding. Pengadilan memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yassona H Laoly mencabut Surat Keputusan Menkumham Nomor M.MH-01.AH.11.01 yang menetapkan kepengurusan partai yang sah di bawah Ketua Umum Oesman Sapta Odang dan Sekretaris Jenderal Herry Lontung Siregar.
Ketua PTUN Jakarta Ujang Abdullah membenarkan putusan tersebut saat dimintai konfirmasi. Meskipun putusan PTUN membatalkan SK Menkumham, pihak Oesman dan Herry menyatakan, putusan itu belum berkekuatan hukum tetap karena pihaknya dan Kemenkumham akan mengajukan banding.
Ketua Departemen Hukum DPP Partai Hanura Petrus Selestinus membantah putusan itu otomatis dimaknai sebagai sahnya kepengurusan kubu Hanura di bawah Daryatmo-Sudding karena. ”Kalau SK Menkumham itu dicabut, bukan berarti Daryatmo-Sudding yang sah karena berarti yang berlaku adalah SK Menkumham sebelumnya, yakni kepengurusan Oesman-Sudding,” kata Petrus.
Secara terpisah, Sudding mengatakan, putusan PTUN menunjukkan kepengurusan Hanura adalah Daryatmo-Suddingsah. Implikasi putusan ini, menurut Sudding, caleg di bawah Oesman Sapta Odang-Herry tak lagi berhak mengikuti kontestasi Pemilu. “Karena yang diakui pengadilan kepengurusan Daryatmo dan Sudding,” katanya.