Hidup Warga Kian Sulit, Rouhani Jamin Iran Bisa Hadapi Sanksi
Oleh
Kris Razianto Mada
·2 menit baca
TEHERAN, SELASA — Presiden Iran Hassan Rouhani meminta warga negara itu tenang. Iran dinyatakan bisa mengatasi dampak sanksi baru Amerika Serikat.
”Dalam keadaan terburuk, saya tetap menjanjikan kebutuhan dasar warga Iran akan disediakan. Kita mempunyai cukup gula, gandum, dan minyak sayur. Kita memiliki cukup valas untuk dimasukkan ke pasar,” ujar Rouhani, Selasa (26/5/2018), di Teheran, Iran.
Pidato itu disiarkan sebagai bagian dari upaya pemerintah menenangkan warga yang marah dan cemas atas kondisi ekonomi Iran. Nilai tukar mata uang Iran, rial, di pasar tidak resmi merosot hingga 90.000 rial per 1 dollar AS. Padahal, pekan lalu nilai tukar rial masih di kisaran 75.500 rial per 1 dollar AS. Pada awal 2018, nilai tukar rata-ratanya 42.000 rial per 1 dollar AS.
Kemerosotan itu merupakan dampak sanksi baru AS kepada Iran. Setelah keluar dari kesepakatan nuklir Iran, AS mengumumkan sanksi baru atas Iran. Sanksi itu membuat Teheran sulit menjual minyak, sumber utama pendapatan Iran. Akibatnya, Iran akan sulit mendapatkan valas.
Penurunan nilai tukar rial Iran dikhawatirkan semakin meningkatkan harga sejumlah kebutuhan yang harus diimpor.
Dana Moneter Internasional (IMF) pada Maret 2018 menyebut Iran memiliki cadangan 112 miliar dollar AS. Neraca Iran dinyatakan surplus. Karena itu, Iran diprediksi bisa bertahan dari sanksi. Akan tetapi, kondisinya dikhawatirkan berbeda setelah AS memberlakukan sanksi baru.
Untuk menghadapi keadaan itu, Iran melakukan sejumlah langkah. Teheran antara lain melarang impor 1.300 produk dan mengendalikan harga. Iran juga mengumumkan hukuman 20 tahun penjara kepada pihak-pihak yang terbukti melemahkan rial Iran.
Penurunan nilai tukar rial Iran dikhawatirkan semakin meningkatkan harga sejumlah kebutuhan yang harus diimpor.
Namun, serangkaian langkah itu tetap tidak bisa menenangkan warga. Sejak tiga hari terakhir, warga kembali berunjuk rasa karena khawatir dengan kondisi perekonomian negara.
Unjuk rasa yang dipicu isu ekonomi juga mengguncang Iran pada Desember 2017. Kala itu, warga di sejumlah kota memprotes kenaikan harga aneka kebutuhan. Bahkan, mereka menuntut Ayatollah Ali Khamenei mengundurkan diri dari jabatan Pemimpin Tertinggi Iran.
Dalam unjuk rasa kali ini, penggerak utamanya adalah pedagang. Mereka yang paling awal terkena dampak kemerosotan rial. Sebagian dari produk yang mereka jual adalah barang impor. Kondisi tersebut diperburuk larangan impor 1.300 produk.
Pedagang dan warga Iran baru merasakan kelonggaran sejak Januari 2016 setelah ada kesepakatan soal nuklir Iran. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, Iran mengetatkan pengawasan atas ekonomi. Warga didorong mengonsumsi barang-barang produksi dalam negeri atau barang yang tidak harus dibeli dengan menghabiskan cadangan devisa.
Kebijakan itu tidak sepenuhnya sukses dan menyuburkan korupsi serta penyelundupan. Aneka barang impor tetap bisa dibeli dengan harga tinggi di Iran. (AP/REUTERS)