Inggris dan Sekutu Dorong Pelarangan yang Lebih Keras
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·3 menit baca
LONDON, SELASA — Inggris dan sekutunya memimpin upaya diplomatik tingkat tinggi pada Selasa (26/6/2018) guna menambah taji badan pengawas kimia global dunia dalam mengidentifikasi orang-orang di belakang serangan senjata beracun. Langkah itu diperkirakan menjadi ajang konfrontasi baru dengan Rusia.
Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) diperkirakan akan mengungkap laporan yang sudah lama ditunggu-tunggu tentang dugaan serangan gas sarin dan klorin pada April lalu, di kota Douma, Suriah. Petugas medis dan tim penyelamat mengatakan, sebanyak 40 orang terbunuh dalam peristiwa itu.
Sebagai badan independen yang terdiri atas para ahli dari seluruh dunia, OPCW mulai tahun 1997 untuk menerapkan Konvensi Senjata Kimia yang melarang produksi, penimbunan, dan penggunaan senjata beracun. Organisasi itu dianugerahi Nobel Perdamaian pada 2013.
Pemerintah Inggris mengonfirmasi bahwa Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson akan memimpin delegasi Inggris ke sesi khusus yang langka dari badan pembuat kebijakan OPCW di Den Haag, Belanda. London mendesak dilakukan pertemuan para anggota OPCW setelah terjadinya serangan terhadap mantan agen ganda Rusia Sergei Skripal dan putrinya di kota Salisbury, Inggris. Atas insiden itu Inggris dan sekutunya telah menyalahkan Rusia.
Namun, pada saat bersamaan, ada kekhawatiran internasional yang berkembang tentang tuduhan berulang-ulang terkait penggunaan gas beracun dalam konflik Irak dan Suriah. Hal itu diperparah dengan pembunuhan pada 2017 yang menimpa Kim Jong Nam, saudara tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, dalam serangan zat langka di Bandara Kuala Lumpur. Muncul dugaan, Pyongyang berada di belakang serangan itu.
Dikhawatirkan bahwa meskipun senjata kimia mematikan dulu sebagian besar dijauhi dan dinyatakan sebagai hal tabu pasca-Perang Dunia I, kini diduga penggunaannya kembali marak.
Rancangan proposal
Sebuah rancangan proposal Inggris bagi pertemuan itu menunjukkan bahwa OPCW ”mulai mengaitkan perlunya sebuah pertanggungjawaban atas serangan senjata kimia di Suriah”. Hal itu diungkapkan oleh Johnson melalui media sosial Twitter, awal bulan ini. ”Dengan keahlian teknis yang terbukti pada senjata kimia, OPCW adalah badan yang tepat untuk mempelajari siapa yang berada di balik serangan,” ujarnya.
Menurut salah satu sumber, seorang diplomat Perancis, mandat atas OPCW harus disesuaikan dengan tantangan abad ke-21. Dinilai tepat bahwa struktur dan misi OPCW harus disesuaikan dengan situasi saat ini.
Ketegangan forum OPCW diperkirakan cenderung cukup tinggi. Aneka lobi tertutup bakal digelar hingga Kamis, sebelum kemudian digelar sebuah pemungutan suara. Negosiasi hingga pemungutan suara itu menjadi waktu yang vital bagi kubu Inggris dan sekutunya. Mayoritas dua pertiga, dikurangi suara abstain apa pun, diperlukan agar draf yang diajukan Inggris dapat diloloskan. Sekitar 130 negara dari 193 anggota OPCW dilaporkan siap hadir dalam forum itu.
Rusia di sisi lain mengecam pembicaraan di Den Haag itu. Moskwa mengatakan bahwa ada pihak yang ”fungsi atribusinya telah melampaui mandat OPCW”. Dalam sebuah pernyataan dari Kedutaan Rusia di Belanda, Kremlin berpendapat bahwa aturan yang mengikat OPCW dapat diubah hanya dengan memodifikasi konvensi itu
Sejumlah sumber mengungkapkan bahwa Rusia sudah bekerja di belakang layar untuk menggalang dukungan guna mengalahkan proposal Inggris. Moskwa memegang hak veto akhir tahun lalu di Dewan Keamanan PBB untuk secara efektif membunuh panel gabungan PBB-OPCW sebelumnya yang bertujuan mengidentifikasi apakah mereka berada di belakang serangan di Suriah atau tidak.
Sebelum mandatnya berakhir pada Desember, panel yang dikenal sebagai JIM (Joint Investigative Mechanism) itu telah menetapkan bahwa Pemerintah Suriah menggunakan gas klorin atau sarin setidaknya empat kali terhadap warga sipilnya sendiri.
Kepala OPCW yang mengundurkan diri, Ahmet Uzumcu, mengatakan, situasi impunitas saat ini untuk menggunakan senjata kimia adalah ”tidak berkelanjutan”. Ia pun memperingatkan bahwa ”budaya impunitas tidak dapat dibiarkan berkembang di sekitar isu penggunaan senjata kimia”. (AFP/REUTERS)