Ini Penjelasan Mengapa Perolehan Suara Sudrajat-Syaikhu dan Sudirman-Ida Mengejutkan
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil akhir hitung cepat Pemilihan Kepala Daerah 2018, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dinilai mengejutkan. Perolehan suara pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu di Pilkada Jawa Barat dan pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah di Pilkada Jawa Tengah berubah cukup signifikan dalam waktu yang relatif singkat. Perolehan suara pasangan tersebut bahkan jauh melampaui hasil survei sebelum pilkada digelar.
Pada hasil hitung cepat oleh tim Litbang Kompas, di Jawa Barat, pasangan calon nomor 1 Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum memperoleh suara sebesar 32,54 persen. Pasangan calon nomor 3 Sudrajat-Ahmad Syaikhu memperoleh 29,53 persen. Sementara pasangan calon nomor 4 Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi mendapat 25,72 persen dan pasangan calon nomor 2 Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan meraih 12,2 persen.
Untuk Jawa Tengah, pasangan nomor urut 1 Ganjar Pranowo-Taj Yasin unggul sebesar 58,34 persen. Pasangan nomor urut 2 Sudirman Said-Ida Fauziyah memperoleh suara sebesar 41,66 persen.
Sementara di Jawa Timur, pasangan nomor 1 Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak meraih 53,36 persen suara. Adapun pasangan nomor 2 Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno meraih 46,64 persen suara.
”Dari hasil tersebut, hal yang mengejutkan adalah dukungan suara terhadap partai-partai oposisi pemerintah naik secara signifikan,” kata Manajer Proyek Hitung Cepat Litbang Kompas Totok Suryaningtyas di Pusat Kendali Hitung Cepat Kompas, Jakarta, Rabu (27/6/2018).
Di wilayah Jawa Barat, misalnya, tingkat elektabilitas Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Gerindra, dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebelumnya hanya berlangganan di posisi ketiga. Namun, pasangan yang terkenal dengan nama Asyik itu berhasil naik satu peringkat pada Pilkada 2018 ini.
Hal senada terjadi di Jawa Tengah. Sudirman Said-Ida Fauziyah tidak pernah diperhitungkan dapat mengejar elektabilitas gubernur petahana Ganjar Pranowo. Namun, pasangan yang didukung oleh PKB, Gerindra, PKS, dan PAN ini selama tiga bulan terakhir berhasil meningkatkan tingkat popularitas mereka.
Dalam survei Litbang Kompas terhadap 800 responden di Jawa Tengah pada 10-15 Mei 2018, dengan simpangan kesalahan sebesar +/- 3,46 persen, Sudirman makin mempersempit jarak popularitasnya dengan Ganjar Pranowo, yang semula jaraknya terpaut 52,4 persen menjadi 48 persen.
Menurut Totok, perubahan dukungan kepada kedua pasangan calon itu tidak disadari oleh kebanyakan lembaga survei. Perubahan dukungan tersebut muncul melalui pergerakan massa yang besar dalam waktu singkat menjelang Pilkada 2018.
Pergerakan tersebut bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Dalam struktur masyarakat, terdapat perbincangan sosial yang bersifat inklusif ataupun eksklusif.
Perubahan dukungan tersebut muncul melalui pergerakan massa yang besar dalam waktu singkat menjelang Pilkada 2018.
Contoh perbincangan yang bersifat eksklusif adalah pembicaraan dalam keluarga, kelompok suku, atau kelompok keagamaan. Dukungan terhadap para pasangan calon yang rendah elektabilitasnya diperkirakan dilakukan melalui perbincangan eksklusif sehingga lembaga survei tidak dapat mendeteksi perubahan dukungan.
”Pada hari pemilihan, calon yang tidak diperhitungkan justru menampilkan kekuatan partai pendukung, yaitu kekuatan nasionalis agama Islam,” kata Totok.
Untuk melaksanakan pergerakan massa tersebut, dibutuhkan modal kapital yang besar. Upaya menggerakkan massa akan lebih efektif ketika terdapat narasi yang telah mengendap lama di kalangan masyarakat, seperti sentimen mengenai suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Totok melanjutkan, dilihat secara ideologi, pertarungan pasangan calon di Jawa Tengah kali ini merupakan pertarungan partai dengan aliran nasionalis sekuler melawan nasionalis agama. Sementara di Jawa Barat, ini merupakan pertarungan pasangan calon campuran ideologi, yakni aliran nasionalis sekuler, melawan nasionalis agama dan tokoh.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sudjito, secara terpisah mengatakan, karakter pemilih Indonesia cukup beragam, seperti pemilih aliran nasionalis agama. Pemilih jenis tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kelompok, seperti nasionalis agama sektarian dan moderat.
”Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, konfigurasi antara pemilih aliran Islam sektarian dan moderat masing-masing cukup kuat,” kata Arie. Namun, pemilih harus berhati-hati agar tidak terjebak oleh sektarianisme sehingga tidak memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak, komitmen, dan program yang diusung pasangan calon.
Ia melanjutkan, pemilu yang dilakukan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir menunjukkan, partai pemenang masih merupakan aliran Islam moderat yang nasionalis.
Hitung cepat yang digelar Litbang Kompas tersebut mengambil sampel dari 400 tempat pemungutan suara (TPS) di tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dengan demikian, total sampel data diambil dari 1.200 TPS.
Simpangan kesalahan (margin of error) perhitungan +/- 1 persen sehingga hasil survei bisa bertambah atau berkurang sekitar 1 persen. Penghitungan tersebut memiliki tingkat kepercayaan 99 persen.
Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah dipilih karena jumlah pemilih terbanyak dalam Pemilu 2019 berada di tiga provinsi itu, yaitu hingga separuh populasi pemilih. Artinya, pilkada di tiga provinsi itu memengaruhi lanskap Pilkada 2018 hingga pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2019.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo menekankan bahwa survei dilakukan secara independen. Hitung cepat digelar bertujuan untuk memberikan berita jurnalisme yang lebih presisi.
Pilpres 2019
Totok menilai, hasil Pilkada 2018 secara tidak langsung akan memengaruhi peta kekuatan partai dalam Pemilihan Presiden 2019. ”Calon yang diusung partai pendukung utama pemerintah kalah pada Pilkada 2018. Masyarakat pasti akan mengaitkannya dengan pemerintahan yang sekarang,” katanya.
Kendati demikian, ia mengatakan, kekalahan partai pendukung pemerintah pada Pilkada 2018 tidak secara signifikan langsung menurunkan elektabilitas Presiden Joko Widodo. Hanya saja, hasil Pilkada 2018 ini menunjukkan, partai oposisi ternyata mampu mengimbangi kekuatan partai pendukung pemerintah.
Hasil hitung cepat Pilkada 2018 diyakini akan digunakan oleh partai-partai untuk mengalkulasi strategi memenangkan Pilpres 2019. Partai pendukung pemerintah akan memikirkan langkah untuk merebut kembali suara di wilayah vital.
Adapun partai oposisi akan berupaya melebarkan pengaruh mereka di wilayah yang belum dikuasai. ”Yang perlu diwaspadai adalah penggunaan isu agama oleh partai untuk merebut suara,” kata Totok.