Lima Pendekar Laut
Muda, cerdas, bersemangat, dan penuh dedikasi. Begitulah gambaran kelima anak muda dari sejumlah negara ini. Program Lingkungan PBB—biasa disingkat UNEP—menyebut mereka sebagai pendekar laut.
Dengan cara masing-masing, mereka berjuang menyelamatkan laut dari sampah plastik yang merusak ekosistem: membunuh kehidupan di laut, meracuni sistem rantai makanan, dan pada akhirnya mengancam kehidupan umat manusia.
Faktanya memang sangat memprihatinkan. Setiap tahun lebih dari 8 juta ton plastik berakhir di laut. Dari padang es di Kutub Utara sampai kedalaman palung Mariana yang gelap, semua telah tercemar sampah plastik. Tanpa intervensi, 99 persen burung laut akan menelan plastik pada pertengahan abad ini.
Untunglah kesadaran untuk mengembalikan lingkungan agar sehat mulai bermunculan. Meski masih rintisan, belum menjadi gerakan yang intens dan meluas, banyak anak muda berdedikasi menyisihkan waktu dan tenaganya untuk mengurangi pencemaran sampah plastik dan membersihkan laut.
Ternyata UNEP mengenali usaha mereka dan memilih lima di antaranya sebagai para pendekar laut. Hal yang membanggakan, ada Tiza Mafira dari Indonesia, selain Afroz Shah dari India, Hugo Tagholm dari Inggris, Sasina Kaudelka dari Thailand, dan Stiv Wilson dari Amerika Serikat.
Tiza berkampanye agar ada peraturan yang melarang penggunaan plastik sekali pakai, Afroz membersihkan pantai dari sampah plastik dan mengadvokasi anak-anak di sekolah untuk mengurangi sampah plastik. Hugo membangun lembaga dana yang populer di Inggris: melibatkan 350.000 donatur, 50.000 sukarelawan, dan menghabiskan 150.000 jam setiap tahun untuk membersihkan pantai.
Sasina Kaudelka menjadi salah satu pendiri Ao Nang, gerakan yang mengajak komunitas lokal untuk membersihkan dan mengurangi sampah sekaligus mengajar masyarakat untuk mengelola sampahnya. Sementara Stiv bergabung dengan The Story of Stuff Project yang berkampanye soal perubahan budaya dalam penggunaan plastik.
Program kelima pendekar laut itu ternyata dilombakan. Dalam proses lebih lanjut, Tiza Mafira terpilih sebagai pemenang pada pertengahan Juni lalu. UNEP mencatat, petisi organisasi Tiza yang diluncurkan pada tahun 2015 agar perusahaan ritel tidak memberikan kantong belanja cuma-cuma diikuti dengan uji coba kantong plastik berbayar tahun berikutnya. Setelah enam bulan, terjadi penurunan penggunaan kantong belanja plastik hingga 55 persen.
Meski uji coba tersebut akhirnya tidak berlanjut secara nasional, beberapa provinsi menginisiasi peraturan daerah tentang kantong belanja plastik, bahkan dua kota melarang penggunaannya di pelbagai pasar swalayan.
Program Tiza menjadi signifikan karena Indonesia merupakan produsen limbah plastik nomor dua dunia setelah China. Indonesia memproduksi 3,8 juta ton sampah plastik setiap tahun. Dari jumlah itu, sebanyak 3,2 juta ton berakhir di laut (Jenna R Jambeck dan kawan-kawan dalam Jurnal Science, 2015).
Plastik yang di awal penemuannya dipuja sebagai teknologi masa kini—mudah dibentuk, daya tahan tinggi, dan murah biaya produksinya—ternyata tidak mudah terurai di alam. Kantong plastik alias ”tas keresek” paling banyak ditemukan di laut karena perlu waktu 200-1.000 tahun untuk terurai, demikian pula dengan gelas plastik yang perlu waktu 50-100 tahun, kontainer plastik 50-80 tahun, dan botol plastik 500 tahun.
Dari tujuh jenis plastik yang beredar saat ini, hanya dua yang mudah untuk didaur ulang, yakni PTE (polyethylene terephthalate) dan HDPE (high density polyethylene). Memang di sisi lain sudah banyak inovasi untuk mengatasi limbah plastik ini, tetapi perlu banyak inisiatif global untuk memanfaatkannya secara massal.
Contohnya, temuan para ilmuwan di Universitas Adelaide, Australia, yang bisa mengubah limbah plastik menjadi carbon nanotube membranes (CNTs). Materi ringan tetapi kuat ini bisa digunakan untuk penginderaan jauh, peralatan medis, baterai lithium, hingga turbin angin.
Mother Nature Network juga mencatat temuan para ilmuwan di Universitas Illinois, Amerika Serikat, yang bisa mengonversi tas keresek menjadi sejenis bahan bakar solar atau daur ulang limbah plastik menjadi campuran bahan pengeras jalan dan bahan baku bangunan.
Meski demikian, mengurangi penggunaan produk plastik—terutama yang sekali pakai—sungguh sangat dianjurkan. Mother Nature Network punya banyak cara untuk mewujudkannya. Misalnya, jangan menggunakan sedotan, biasakan membawa tas belanja sendiri, memilih keperluan sehari-hari, seperti detergen, susu, dan biskuit yang dikemas boks karton, serta masih banyak lagi. Pertanyaannya kemudian, siapkah kita berubah?