Memahami Banjir di Musim Kemarau
Musim kemarau tahun 2018 sebenarnya telah tiba sejak pertengahan April. Namun hingga minggu terakhir bulan Juni, hujan lebat memicu banjir dan longsor di sejumlah daerah, mulai dari Banyuwangi, Jakarta, hingga Bogor. Kejadian ini bisa menjadi penanda tentang perubahan dapur cuaca sehingga hujan bulan Juni bukan lagi menjadi anomali.
Sejak tahun 1990-an, dengan menggunakan pemodelan, para ilmuwan telah memprediksi bahwa pola hujan akan berubah seiring dengan pemanasan global. Meningkatnya suhu telah memicu penguapan lebih cepat dan mengubah pertukaran arus di udara dengan lautan, dan pada akhirnya memicu perubahan iklim.
Berbagai data kejadian dan penelitian terbaru telah membuktikan tren ini. Misalnya, penelitian oleh peneliti dari NASA dan University of Maryland\'s Earth System Science Interdisciplinary Center (ESSIC) di jurnal Nature pada 17 Mei 2018 menunjukkan perubahan intensitas dan pola hujan tersebut.
Disebutkan, daerah yang sebelumnya basah, termasuk dalam hal ini kawasan lintang tinggi dan daerah tropis, menjadi semakin basah. Sedangkan daerah yang sebelumnya kering menjadi semakin kering.
Indonesia juga tidak luput dari pergeseran pola hujan ini. Riset yang dilakukan peneliti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Supari menemukan, curah hujan cenderung meningkat di wilayah Indonesia di sebelah utara garis khatulistiwa, terutama daerah Sumatera bagian tengah dan utara, Kalimantan bagian timur, dan Sulawesi bagian tengah dan utara.
Sebaliknya, di wilayah Indonesia di sebelah selatan garis khatulistiwa, misalnya Sumatera bagian selatan, Jawa-Bali-Nusa Tenggara, curah hujan cenderung berkurang. Riset yang diterbitkan di jurnal Climatology pada 2016 ini menggunakan data iklim dari 88 stasiun BMKG di Indonesia.
Namun jika dilihat dalam skala lebih kecil lagi, perubahan pola hujan ini lebih kompleks lagi. Bahkan, di satu pulau saja bisa bervariasi.
Kondisi Lokal
Penelitian Supari dan Siswanto, peneliti cuaca ekstrem BMKG, tentang perubahan pola hujan ekstrem di Pulau Jawa menunjukkan hal itu. Riset yang diterbitkan di jurnal Environment and Earth Science (2015) ini menunjukkan tren perubahan pola hujan di 9 daerah dataran rendah dan 10 pegunungan di Pulau Jawa dalam kurun 1981 - 2010.
Hasilnya menunjukkan sebagian daerah mengalami penambahan hujan ekstrem, namun ada juga daerah yang justru berkurang. Daerah yang mengalami tren peningkatan hujan ektrem di antaranya Banyuwangi, Malang, Tuban, Cilacap, dan Jakarta. Sementara daerah yang mengalami penurunan intensitas hujan ekstrem di antaranya Jember, Probolinggo, Tegal, Semarang, Solo, Cirebon, Ciamis, dan Serang.
Seperti disebutkan di kajian ini, hujan ektrem di dataran tinggi Banyuwangi tergolong meningkat. Analisis data pengamatan 30 tahun di pos pemantauan hujan Sidomulyo di dekat Gunung Raung menunjukkan penambahan hujan dengan kategori lebat atau di atas 20 milimeter (mm) per hari dan di atas 50 mm per hari.
Tingginya curah hujan ini pula yang teramati dari data meteorologi sebelum terjadinya banjir bandang di Banyuwangi, Sabtu (23/6/2018) lalu. Data BMKG Stasiun Klimatologi Karangploso Malang menunjukkan, curah hujan automated rain gauge (ARG) ljen Jambu di lereng Gunung Raung dari tanggal 19 - 23 Juni 2018 berturutan adalah 42,3 mm per hari, 19,4 mm per hari, 36,2 mm per hari, dan 3 mm per hari.
Sebelumnya, hingga akhir Juni, Pos Pengukuran hujan Songgon di hulu Gunung Raung juga mencatat akumulasi hujan harian lebih dari 100 mm telah terjadi tiga kali. Sedangkan di Pos Hujan Alas Malang Singojuruh, hujan harian maksimum di atas 100 mm per hari sudah terjadi empat kali.
"Data-data ini menunjukkan penguatan hujan lokal yang dipengaruhi efek orografis pegunungan meski di saat musim kemarau. Perlu dicatat juga, tahun lalu Banyuwangi juga mengalami banjir pada Juni dan Juli," kata Siswanto.
Dari aspek meterologi, Banyuwangi menjadi salah satu kota yang mengalami peningkatan risiko banjir akibat kenaikan tren hujan ekstrem di pegunungan sekitarnya. Kondisi serupa dialami Jakarta.
Kajian Siswanto sebelumnya yang dipublikasikan di jurnal Royal Meteorological Society (2015) juga menemukan jumlah hujan ekstrem melebihi 50 milimeter per hari di Jakarta pada 1866-2010 bertambah signifikan. Demikian pula jumlah hari untuk curah hujan di atas 50 milimeter per hari dan 100 milimeter per hari juga bertambah signifikan.
Sementara dari rekaman 50 kejadian curah hujan harian maksimum tahunan lebih dari 100 milimeter yang terasosiasi banjir di Jakarta sejak tahun 1900 ternyata tidak melulu terjadi di musim hujan.
Hujan ekstrem di Pulau Jawa ternyata bersifat chaotic, susah ditebak lagi. Hujan ekstrem bisa terjadi di luar musim hujan. Jika diperhatikan, beberapa kali kejadian banjir dan longsor di Jawa, pada Juni-September 2016, terjadi di musim kemarau.
Menurut Supari, setiap daerah memiliki mekanisme hujan yang berbeda. Contohnya, hujan di daerah pegunungan disebut tipe hujan orografis sangat ditentukan arah lereng gunung terhadap angin utama.
Daerah Banyuwangi, misalnya, ketika musim kemarau kemungkinan wilayah timur gunung lebih banyak mendapat hujan dibandingkan wilayah barat. Hal itu karena lereng gunung di sebelah timur langsung berhadapan dengan angin monsun Australia.
Selain itu, ketinggian gunung juga berpengaruh. Pada gunung-gunung yang tidak terlalu tinggi, hujan kebanyakan jatuh di belakang gunung karena awan yang terbentuk terbawa angin melintasi puncaknya. Sedang pada gunung yang tinggi, hujan banyak jatuh di depan gunung, karena angin yang tidak sanggup mendorong awan melewati puncak. Istilah depan atau belakang gunung ini mengacu pada arah datangnya angin.
Jadi karena mekanisme yang berbeda, tidak selalu hujan orografis memiliki pola perubahan yang sama. "Kalau dari riset saya, wilayah Jawa Timur bagian barat seperti Ponorogo, Ngawi, dan Bojonegoro mengalami penurunan hujan secara signifikan. Sementara daerah tengah, meliputi Surabaya dan Pasuruan mngalami peningkatan curah hujan," kata Supari.
Siswanto mengakui, secara spasial daerah yang mengalami tren penurunan dan peningkatan ini masih sulit dikelompokkan. "Tidak mudah mencari pola perubahan hujan ekstrem ini. Respon lokal tidak selalu seragam terhadap perubahan iklim, tergantung pada interaksi atmosfer, biosfer, dan hidrosfer lingkungan setempat. Namun, yang pasti perubahan tengah terjadi," kata dia.
Tidak mudah mencari pola perubahan hujan ekstrem ini. Respon lokal tidak selalu seragam terhadap perubahan iklim, tergantung pada interaksi atmosfer, biosfer, dan hidrosfer lingkungan setempat.
Mitigasi dan Adaptasi
Pemahaman mengenai perubahan pola cuaca ini menjadi penting untuk memitigasi potensi bencana. Dengan peningkatan intensitas hujan di daerah pegunungan, artinya potensi banjir bandang sebagaimana terjadi di Banyuwangi, longsor di Bogor, dan banjir di Jakarta meningkat. Bencana hiddrometeorlogi memang tidak melulu dipicu intensitas hujan, tetapi juga oleh perubahan daya dukung lingkungan.
Informasi tren perubahan pola hujan juga sangat dibutuhkan dalam budidaya tanaman. Penelitian oleh tim dari Universitas Aalto, Finlandia, yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications pada 28 Maret 2018 menemukan siklus iklim berskala regional, seperti El Nino, memengaruhi hingga dua pertiga hasil panen global. Jadi adaptasi pola budidaya terhadap dinamika iklim yang kini berubah jadi kunci bagi ketahanan pangan di masa depan.
Menurut pranata mangsa atau pola musim tradisional orang Jawa, Juni merupakan kemarau, sedangkan puncak musim penghujan adalah bulan Desember—gede-gedene sumber atau besar-besarnya sumber (air)— (Daldjoeni, 1997). Kalender ini merupakan produk pengamatan orang Jawa terhadap pola musim di masa lalu. Namun, kalender pranata mangsa ini perlu diperbarui.