Piala Dunia sering menjadi kisah para pahlawan yang jatuh. Dewa-dewa bola gagal membangun harmoni saat menjadi pusat gravitasi tim. Di Piala Dunia, kolektivitas ada di atas segalanya.
EKATERINBURG, SELASA — Sepak bola sering disejajarkan dengan perang. Bangsa melawan bangsa dalam kesebelasan. Konsekuensinya identik, kalah bisa berujung kematian mimpi. Inilah yang kini dihadapi Jerman, Meksiko, Swedia, dan Korea Selatan pada laga terakhir Grup F Piala Dunia Rusia 2018. Setiap tim dalam tekanan besar dengan dilematika yang sebagian telah mengerak, seperti Meksiko.
Skuad ”El Tri” telah distigma sebagai tim gagal. Sebagian menyebut Meksiko ”el equipo del ya merito” alias tim spesialis nyaris. Mereka memiliki akar sepak bola yang kuat, bermain dengan spirit tinggi, tetapi selalu terjungkal pada laga-laga krusial. Momok besar yang belum bisa mereka kalahkan adalah belenggu quinto partido, laga kelima, alias perempat final yang terakhir mereka capai saat menjadi tuan rumah tahun 1986.
Setelah absen pada edisi 1990 menyusul sanksi FIFA karena memainkan pemain di atas umur pada Piala CONCACAF U-20 1998, Meksiko selalu lolos sejak 1994. Namun, di enam Piala Dunia terakhir, langkah Meksiko selalu berakhir di babak 16 besar.
Kegagalan beruntun itu yang kemudian mendorong Federasi Sepak Bola Meksiko menyarankan Pelatih Juan Carlos Osorio memasukkan psikolog dalam tim kepelatihan. Itu terwujud setelah Meksiko mengalami kekalahan paling memalukan 0-7 dari Chile di perempat final Copa America Centenario 2016.
Meksiko mengontrak Imanol Ibarrondo sebagai pelatih mental. Ibarrondo mengetahui seluk beluk sepak bola karena pernah menjadi pemain sebelum menjadi motivator.
Ibarrondo mengarahkan fokus para pemain menjauh dari hantu quinto partido. ”Mari membahas (laga) yang pertama, dan satu setelah itu,” ujarnya, seperti dikutip oleh Raul Vilchis, kolumnis The New York Times.
”Saya tidak akan berpikir tentang (laga) ketiga atau keempat karena selalu ada yang pertama,” kata Ibarrondo.
Meksiko berusaha lepas dari belenggu masa lalu. Mengubur warisan kegagalan. Asa itu diuji lebih awal di fase grup. Javier Hernandez dan kawan-kawan masih bisa tersingkir meskipun sudah dua kali menang. Mereka perlu menjaga optimisme untuk memetik minimal hasil imbang saat melawan Swedia untuk lolos ke babak 16 besar.
Duel di Ekaterinburg, Rabu (27/6/2018) pukul 21.00 WIB itu, akan menjadi perang. Swedia akan memaksakan kemenangan untuk menghidupkan asa lolos karena masih tergantung dari laga Jerman versus Korea Selatan di Kazan pada waktu bersamaan.
Situasi penuh tekanan menjelang laga itulah yang menjadi fokus psikolog olahraga Daniel Ekvall yang dikontrak timnas Swedia. Dia bertugas mengembalikan kepercayaan diri serta motivasi kapten Andreas Granqvist dan kawan-kawan.
Mereka baru mengalami kekecewaan besar setelah kalah 1-2 dari Jerman. Itu laga yang menyakitkan bagi pemain Swedia karena kemasukan gol kemenangan Jerman melalui sepakan Toni Kroos 20 detik menjelang laga berakhir.
”Ini terkait dengan pemulihan mental, mengumpulkan kekuatan dan energi untuk laga terakhir grup,” ujar Ekvall.
Swedia juga memiliki motivasi kuat memetik kemenangan untuk melawan perundungan pada gelandang Jimmy Durmaz yang dituding menjadi penyebab kekalahan dari Jerman. Pemain klub Toulouse itu mendapat dukungan penuh dari semua tim.
”Saya orang Swedia dan saya bangga mewakili tim nasional Swedia. Saya tak akan membiarkan siapa pun yang rasis menghancurkan kebanggaan saya. Kita semua harus melawan rasisme,” ujar Durmaz dalam pernyataannya, Minggu lalu.
”Kami di tim nasional Swedia, para pemain dan pemimpin 100 persen mendukung pernyataan ini,” ujar Pelatih Swedia Janne Andersson.
Swedia sudah menunjukkan diri sebagai tim yang solid. Mereka kompak dan setiap pemain memahami makna kerja sama tim. Tanpa kemauan setiap pemain mengubur ego pribadi, mereka tak akan pernah mengalahkan Perancis, Belanda, dan Italia di kualifikasi.
Mental mengutamakan kolektivitas di atas performa individu itu merupakan warna skuad Jerman. Mereka sejak lama dikenal sebagai tim yang menghargai spirit tim. Psikolog Tomas Chamorro-Premuzic, profesor di University College London dan Columbia University, menyebut itu dengan ”Sinergi Jerman”. Setiap pemain rela berkorban demi tim yang solid dan harmonis.
Karakter itu kini menjadi modal kuat Jerman untuk meruntuhkan Korsel dan melenggang ke babak 16 besar. Ini juga laga pembuktian bagi skuad Jerman yang merasa tidak mendapatkan dukungan yang semestinya, termasuk dari media, setelah kalah 0-1 dari Meksiko pada laga pertama.
”Kami tidak mendapatkan bantuan apa pun. Tidak ada yang menulis judul dengan cara kami, kami harus melakukan itu dengan cara kami sendiri, itu harus datang dari kami sendiri,” ujar Kroos seusai laga kontra Swedia.
Marco Reus mendukung Kroos. ”Banyak orang di Jerman yang menginginkan kami tersingkir pada putaran pertama. Namun, laga ini (kontra Swedia) menunjukkan bahwa kami selalu percaya pada diri kami sendiri,” katanya. (Reuters/AFP/ANG)