Memimpin dengan Hati di ”Jantung” Pulau Jawa
Pagi ini, 27 Juni 2018, masyarakat Jawa Tengah menentukan pemimpinnya lima tahun ke depan. Setelah parasnya kian jelita dengan polesan infrastruktur baru, mulai dari jalan tol hingga bandara, tersisa pekerjaan rumah yang tak gampang bagi gubernur selanjutnya. Berkelindan dengan target memangkas kemiskinan, saatnya memastikan semua kelompok masyarakat mendapatkan peluang sama untuk sejahtera.
Samilah (60), pedagang toko oleh-oleh ”Samilah Jaya” di tepi jalur arteri pantai utara (pantura) Jawa Tengah, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, tertunduk lesu. Wajahnya kuyu menatap susunan telor asin dan bawang merah yang masih menumpuk di sudut warungnya. Sepanjang sejarah masa Lebaran, tahun ini menjadi yang terpahit baginya.
”Padahal, harga sudah saya turunkan. Telur asin yang biasanya Rp 5.000 per butir, sekarang dijual Rp 4.000. Kalau bawang merah dari yang biasanya Rp 50.000 per kilogram, sekarang cukup Rp 40.000 per kg, tetapi pembeli masih saja sepi,” kata Samilah, Kamis (21/6/2018).
Dia mengaku, dua tahun terakhir, omzet usaha oleh-olehnya anjlok drastis. Dia membandingkan, saat mudik Lebaran 2016, dalam sehari dia bisa meraup Rp 1 juta. Namun, kini anjlok hanya Rp 200.000 per hari. ”Ini karena pemudik memilih lewat jalur tol. Jarang yang lewat pantura,” katanya.
Kondisi serupa dialami pedagang batik di Pekalongan. Sularsih (49), pedagang di Pasar Grosir Batik Sentono Kota Pekalongan, mengaku, sejak pengoperasian tol dari Brebes hingga Pemalang dan tahun ini dilanjutkan Pemalang-Batang-Semarang, pemudik jarang melintasi pusat kota Pekalongan.
Akibatnya, pembeli batik pun kian sepi. Pada Lebaran 2015, dia bisa mendapat Rp 750.000-Rp 1 juta per hari. Tetapi, kini untuk mendapatkan Rp 350.000 per hari saja sangat sulit.
Di satu sisi, dia mendukung pembangunan infrastruktur Jalan Tol Trans-Jawa, mulai dari Brebes hingga Semarang, karena mempercepat waktu tempuh perjalanan. Namun, di sisi lain, dia juga kehilangan pelanggannya karena semuanya beralih ke jalan tol.
Kondisi serupa sebenarnya pernah terjadi setelah pembangunan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali). Usaha kecil di sepanjang pantura Cirebon hingga Indramayu saat itu kolaps. Dampak yang sama mesti diantisipasi Pemerintah Jateng.
Pengamat ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Sony Heru Priyanto, menilai ruas tol baru sudah diprediksi berdampak terhadap usaha kecil di jalur pantura Jateng. Mereka kehilangan pelanggan.
Pasar yang diharapkan mendongkrak pendapatan, terlebih pada saat arus mudik Lebaran ataupun liburan akhir tahun, mendadak macet. Pelanggan lebih suka lewat tol agar cepat sampai tujuan. Itu artinya mereka tidak lagi mampir ke sentra-sentra produk lokal yang bertebaran di tepi jalan pantura di Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, dan Kendal.
Kemiskinan
Hasil penelitian Litbang Kompas (2018), pelaku usaha semacam Samilah, juga perajin batik di Pekalongan, serta industri rumah tangga konfeksi di Pemalang terguncang cukup dahsyat. Ketika Jalan Tol Cipali beroperasi pada 14 Juni 2015, sejumlah sektor ekonomi di daerah langsung terdampak.
Jumlah rumah makan dan warung di jalur pantura di wilayah Brebes turun dari 154 unit (2013), tersisa 111 unit pada 2016. Di Pemalang, usaha konfeksi juga terdampak. Jumlah usaha semula sebanyak 63 unit (2012) turun tinggal 44 unit usaha (2016). Begitu halnya industri rumah tangga di Ulujami, Pemalang, semula 1.211 unit usaha kecil (2012) langsung rontok tinggal 778 unit usaha pada 2016. Tentu saja, jumlah itu makin sedikit saat arus mudik tahun ini.
Oleh karena itu, pengurus Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Pekalongan, Ismanto Bhakti, mengungkapkan, penurunan omzet usaha kecil tentu saja berdampak pada aspek sosial, seperti pengurangan tenaga kerja pembatik dan pekerja konfeksi. Hal ini sama saja menambah tingkat pengangguran warga di pantura Jateng.
Dari segi politik, adanya warga yang menganggur, kehilangan pekerjaan karena tempat usaha tutup akibat sepi order atau sepi penjualan setelah berfungsinya Jalan Tol Trans-Jawa, akan menjadi pekerjaan rumah bagi siapa pun gubernur yang memenangi pilgub Jateng periode 2018-2023 pada 27 Juni ini.
Tahun ini, pemerintah pusat menggeber pembangunan sejumlah proyek infrastruktur, termasuk di Jateng. Selain Jalan Tol Trans-Jawa, salah satu proyek besar lain adalah Bandara Ahmad Yani di Kota Semarang. Bandara ini menjadi gerbang langit baru Jawa Tengah yang representatif. Sekian lama, kondisi bandara di Semarang relatif sempit dan menyulitkan.
Bangunan yang berukuran sembilan kali lebih luas daripada terminal lama itu diyakini mampu menampung penumpang hingga 7 juta penumpang per tahun. Adapun kapasitas bandara lama hanya 800.000 penumpang per tahun. Proyek ini terdiri atas lima paket pengerjaan dengan nilai investasi Rp 2,2 triliun.
Bandara yang mulai beroperasi 6 Juni tersebut kian memoles wajah Jateng. Selain mempermudah akses transportasi, keberadaan bandara juga diharapkan menjadi magnet investor dan mampu mendatangkan lebih banyak wisatawan. Itu juga menjadi tugas baru pemimpin Jateng.
Pemilihan Gubernur Jateng kali ini diikuti dua pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur, yakni pasangan petahana, Ganjar Pranowo-Taj Yasin, serta pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah.
Wakil Gubernur Jateng Heru Sudjatmoko mengaku prihatin dengan efek yang terjadi ketika Tol Trans-Jawa berfungsi. Penurunan omzet tentu saja artinya penurunan sektor ekonomi yang lumayan luas di jalur pantura. Padahal, data Bank Indonesia menunjukkan, usaha kecil dan menengah menjadi faktor penting penopang pertumbuhan ekonomi Jateng pada triwukan III-2017 dengan angka 5,13 persen.
Jika tidak segera dicari solusinya, efek domino meredupnya bisnis di pantura tentu pada peningkatan jumlah penganggur. Terlebih, pengangguran dan kemiskinan masih menjadi masalah klasik bagi Provinsi Jawa Tengah dengan bonus demografinya yang terdiri atas 34,8 juta (2017) penduduk ini.
Jumlah penduduk miskin sempat turun dari 13,1 persen menjadi 12 persen atau sekitar 4,4 juta penduduk. Pada penduduk miskin itu, terdapat angkatan kerja produktif pada rentang usia 16-55 tahun, dengan indikator dominan tenaga kerja berpendidikan di bawah sekolah menengah atas. Hanya saja, angka kemiskinan Jateng ini masih di atas rata-rata nasional pada 2017 sebesar 10,12 persen.
”Jadi, meski penduduknya banyak, mesti ditingkatkan keterampilannya juga. Jika tidak terampil, meski investasi masuk, mereka akan tertinggal,” ujar Heru.
Pembangunan infrastruktur, seperti Jalan Tol Trans-Jawa dan peningkatan jalur pantai selatan (pansela), mulai dari Wonogiri-Purworejo-Kebumen hingga batas Cilacap dengan Ciamis, Jawa Barat, memerlukan kesiapan tenaga kerja terampil. Dia mencontohkan, beroperasinya pabrik sepatu di Jepara membutuhkan tenaga terampil sekitar 7.000 orang. Namun, nyatanya hingga kini sulit memenuhi lowongan itu, terutama warga dari Jepara dan sekitarnya.
Lingkungan
Persoalan lingkungan juga masih menjadi tugas berat bagi gubernur terpilih. Sejauh ini, sejumlah komunitas dan aktivis peduli lingkungan menilai kedua kandidat gubernur dan wakil gubernur belum menyoroti persoalan lingkungan hidup. Padahal, provinsi berpenduduk 34 juta jiwa itu tengah menghadapi krisis dan konflik ekologi di berbagai daerah.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Semarang Zainal Arifin menilai pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin dan Sudirman Said-Ida Fauziyah tidak menyoroti permasalahan lingkungan hidup dan agraria di Jateng dalam visi dan misi mereka. Padahal, setidaknya dalam tiga tahun terakhir konflik agraria dan sumber daya alam di Jateng kian mengkhawatirkan.
LBH Semarang menangani setidaknya 177 kasus lingkungan hidup sepanjang tahun 2015-2017. Kasus yang ditangani mayoritas terkait persoalan penambangan, pencemaran lingkungan, dan perampasan tanah. Persoalan lingkungan hidup ini terjadi hampir di seluruh kota/kabupaten.
”Kasus agraria menyangkut hutan dan lahan sampai saat ini belum terselesaikan. Catatan LBH, konflik agraria terjadi hampir di semua kawasan hutan se-Jateng,” ujar Zainal.
Beberapa persoalan ekologi dan konflik lingkungan yang selama ini menjadi sorotan antara lain eksploitasi kawasan karst lindung di pegunungan Kendeng dan Gombong; pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di Cilacap, Rembang, Jepara, dan Batang; dugaan pencemaran limbah oleh sejumlah pabrik industri; serta relokasi warga dampak pembangunan infrastruktur.
Pengamat politik Universitas Diponegoro Semarang, M Yulianto, menilai kedua pasangan calon belum mampu menyajikan sikap dan ketegasan atas salah satu persoalan besar di Jateng terkait lingkungan hidup dan tata ruang wilayah. Petahana cenderung bertahan dengan kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan selama lima tahun, sementara penantang belum mampu menyajikan solusi konkret di masa depan.
Untuk itu, meski pada akhir hari ini, 27 Juni, pemenang Pilkada Jateng sudah tergambar, tentu bukan pesta pora dan perayaan kemenangan besar-besaran yang diharapkan masyarakat. Keduanya mesti bersiap menggulung lengan baju, bekerja menyelesaikan tugas-tugas berat, memastikan perlindungan alam dan percepatan roda ekonomi berjalan selaras demi kesejahteraan warga. Jateng menanti figur yang mampu memimpin dengan hati.