MK Siap Adili Kasus Pilkada
Potensi membanjirnya perkara sengketa pilkada yang kemungkinan didaftarkan pada awal Juli mendatang sudah diantisipasi Mahkamah Konstitusi.
JAKARTA, KOMPA - Mahkamah Konstitusi telah bersiap diri menghadapi potensi membanjirnya perkara sengketa Pilkada 2018. Tiga aspek utama dalam penanganan perkara, yaitu regulasi, manajemen perkara, dan sumber daya manusia, telah disiapkan.
MK juga telah membuat aturan khusus penanganan sengketa pilkada dengan calon tunggal, menerapkan registrasi serentak untuk memudahkan pendistribusian perkara ke hakim, sekaligus mengontrol kemungkinan konflik kepentingan pada diri hakim.
Ketua MK Anwar Usman, Selasa (26/6/2018), di sela-sela halalbihalal di Jakarta, menuturkan, infrastruktur yang diperlukan untuk menangani sengketa pilkada sudah siap.
”Kami pada intinya sudah siap. Berapa pun (jumlah) permohonan yang masuk dari 171 daerah itu, kami siap. Umpama kalau nanti 171 daerah yang menyelenggarakan pilkada itu ternyata mengajukan gugatan sengketa hasil pilkada, MK siap menanganinya,” katanya.
MK akan membuka pendaftaran sengketa pilkada pada 3 Juli 2018. Perkara yang masuk itu akan diregistrasi secara berbarengan pada 23 Juli dan paling lambat sudah harus diputus pada 26 September. Pendaftaran sengketa bisa dilakukan via daring.
”Registrasi secara bersamaan itu untuk memudahkan distribusi perkara kepada panel hakim. Setiap perkara akan diperiksa dan dilihat apakah ada kemungkinan konflik kepentingan dengan hakim yang memeriksa atau tidak,” ujar Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah.
Dalam menangani perkara sengketa pilkada, MK akan membuat putusan dismissal dengan menimbang apakah permohonan itu memenuhi batas selisih suara penggugat dengan pemenang pilkada maksimum 2 persen ataukah tidak. Permohonan yang tidak memenuhi syarat tidak akan diterima.
Terkait dengan pilkada dengan calon tunggal, MK membuat Peraturan MK (PMK) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pilkada untuk Calon Tunggal. Disebutkan di PMK, perkara sengketa hasil pilkada yang dimenangi calon tunggal dapat diajukan oleh kelompok pemantau di daerah setempat.
”Sekalipun calon tunggal tidak memiliki lawan politik, kemenangannya tetap bisa digugat oleh kelompok pemantau pemilihan setempat. Peraturan ini ingin memberi kesempatan kepada publik atau elemen masyarakat yang aktif memantau pilkada untuk mengkritisi hasil pilkada,” kata Guntur.
Uji materi
Penanganan perkara sengketa pilkada itu, menurut Usman, tidak akan mengesampingkan perkara pengujian undang-undang (PUU).
Mengenai penanganan perkara sengketa pilkada yang berbarengan dengan PUU ini menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017. BPK menyarankan MK agar fokus menangani perkara sengketa pilkada dan tidak membarengkannya dengan penanganan pengujian UU. Hal ini terkait dengan laporan pendanaan penanganan perkara di MK.
Guntur mengatakan, MK berpedoman kepada amanat UU MK yang menyatakan tugas dan wewenang MK adalah menguji konstitusionalitas UU.
”Memang ada dilema soal ini. Penanganan perkara pilkada (di MK) itu kan sementara, sampai tahun 2024. Namun, bukan berarti MK tidak memeriksa penanganan pengujian UU,” katanya.
Salah satu perkara yang mengundang perhatian publik dan baru saja diregistrasi MK ialah uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yakni terkait syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Pemohon meminta agar MK mempercepat pemeriksaan perkara tersebut karena menyesuaikan dengan jadwal dan tahapan pemilu.
Mengenai permintaan itu, Anwar mengatakan, percepatan penanganan perkara di MK juga tergantung kepada pemohon. ”Apakah pemohon banyak mengajukan saksi atau ahli, itu ikut memengaruhi lama tidaknya penanganan perkara. Jadi, nanti dilihat dulu permohonannya,” ujarnya.
MK telah meregistrasi dua permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan oleh Nugroho Prasetyo selaku warga negara yang merasa hak konstitusionalnya mencalonkan diri sebagai calon presiden terganggu dan 12 tokoh/akademisi yang menilai ambang batas pencalonan presiden tak sesuai konstitusi.