Penunjukan Iriawan yang Tuai Polemik
Problem yuridis-etis membayangi penunjukan polisi aktif sebagai penjabat gubernur. Kebijakan itu juga dinilai tak sesuai dengan semangat reformasi.
Derasnya kritik publik atas pelantikan Perwira Tinggi Polri yaitu Komisari Jenderal M Iriawan menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat, 18 Juni, tak mengubah sikap pemerintah. Pemerintah berkukuh tak ada undang-undang yang dilanggar.
Kementerian Dalam Negeri berpatokan pada Pasal 201 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan, penjabat gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya. Jabatan sekretaris utama termasuk JPT madya jika mengacu pada penjelasan Pasal 19 Ayat (1) Huruf b UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Dengan dasar itu, Iriawan yang sebelumnya menjabat sekretaris utama di Lembaga Ketahanan Nasional memenuhi syarat ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur Jabar menggantikan Ahmad Heryawan yang habis masa tugasnya.
Padahal, Pasal 28 UU No 2/2002 tentang Kepolisian RI dengan tegas menyebutkan, anggota kepolisian hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari kepolisian.
Tak sedikit yang menilai penunjukan Iriawan menabrak UU Kepolisian. Ada pula yang menuding penunjukan Iriawan disengaja untuk memberi jalan kemenangan salah satu calon kepala daerah yang berlatar belakang mantan perwira tinggi di kepolisian.
Kemendagri berulang kali membantah tudingan ini. Namun, bantahan ini tak lantas membuat surut kritik publik.
Dalam diskusi Satu Meja bertajuk ”Menagih Netralitas Iriawan” di Kompas TV yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo, Senin (25/6/2018), perdebatan ini kembali terlihat. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar yang menjadi narasumber dalam acara tersebut menjelaskan, posisi pemerintah masih sama. Kebijakan pemerintah ini didukung Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pariera selaku partai pendukung utama pemerintah.
Pihak yang kontra adalah Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik dan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro.
Perdebatan tampaknya tak akan usai dalam waktu dekat karena Erma mengatakan fraksinya tetap akan menggulirkan usulan hak angket atas penunjukan Iriawan. ”Indikasi pelanggaran UU, salah satunya UU Polri, sangat jelas,” ujarnya.
Demokrat tak sendiri. Sebelumnya, Fraksi Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera juga telah menyatakan akan menginisiasi angket. Belakangan, Fraksi Partai Amanat Nasional menyatakan akan ikut mendukung.
Jika empat fraksi di DPR itu konsisten, tidak sulit memenuhi syarat pengusulan hak angket. Namun, usulan tersebut harus disetujui dalam Rapat Paripurna DPR yang dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota DPR dan disetujui lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir.
Ini yang dilihat Andreas tak akan mudah dipenuhi. Sebab, enam fraksi di DPR adalah fraksi pendukung pemerintah dan dasar yang dijadikan munculnya angket tidak kuat. ”Tidak ada UU yang dilanggar,” katanya. Bahtiar menguatkan hal ini.
Reformasi
Terlepas dari perdebatan yuridis atau etis, Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan keputusan penunjukan Iriawan seharusnya ingat akan tuntutan reformasi 1998.
Saat itu, kuat desakan publik agar ABRI (yang kemudian dipecah menjadi TNI dan Polri) meninggalkan peran sosial politiknya, termasuk mencabut dwifungsi ABRI. ABRI dituntut kembali ke barak.
Panglima ABRI kala itu, Jenderal Wiranto, yang kini menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, seharusnya ingat tuntutan itu. Sebab, kala itu, dia yang memimpin reformasi di tubuh ABRI dengan konsep paradigma baru ABRI.
Bagian dari paradigma baru itu adalah tidak semua urusan nasional dipegang ABRI, termasuk memegang posisi politik, seperti pemimpin daerah. Dari sana, ABRI lantas tak boleh menduduki jabatan birokrasi sipil. Jumlah ABRI di parlemen pun dikurangi hingga akhirnya ditarik dari parlemen.
Hal ini kemudian lebih ditegaskan di dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian. Di bagian pertimbangan disebutkan, tuntutan reformasi dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi sehingga diperlukan reposisi dan restrukturisasi ABRI.
Kemudian, peran sosial politik dalam dwifungsi ABRI disebut telah menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi ABRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Maka, ditegaskan dalam Ketetapan MPR itu, TNI sebagai kekuatan pertahanan negara serta Polri adalah alat negara dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
Aturan di Ketetapan MPR ini kemudian didetailkan dalam UU Polri dan UU TNI.
Jadi, dengan melarang prajurit atau polisi aktif masuk dalam birokrasi merupakan bagian dari proses demokratisasi dan menegakkan supremasi sipil.
Februari lalu, Wiranto sebenarnya sudah membatalkan rencana penunjukan perwira tinggi aktif Polri sebagai penjabat gubernur, termasuk Iriawan (Kompas, 24/2/2018).
Namun, Presiden justru memutuskan menarik Iriawan mengisi posisi jabatan birokrasi sipil. Beberapa pihak pun bertanya, apa itu bukan berarti Presiden seperti membawa Indonesia mundur ke era Orde Baru saat dwifungsi ABRI masih diterapkan?
Ketidakkonsistenan itu, menurut Siti Zuhro, melahirkan ketidakpercayaan kepada pemerintah. Ini seharusnya bisa dicegah pemerintah, terutama di tahun politik seperti sekarang.
Presiden hendaknya mendengar resistensi publik. Ke depan, Presiden perlu memastikan tak ada lagi prajurit/polisi aktif yang ditarik masuk mengisi posisi-posisi jabatan birokrasi sipil.