Ketika harian Kompas menginisiasi Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi persis 10 tahun lalu, terlihat jelas di kaki langit bayangan ketidakpastian pasca-Perang Dingin. Setelah satu dasawarsa berlalu, keadaan tidak lebih pasti dan tidak lebih nyaman, tetapi malah bertambah runyam oleh gangguan digital, digital disruption, yang mengakibatkan berbagai disorientasi nilai.
Perlu dikemukakan, perang digital ternyata tidak kalah ganas dan kejamnya dengan Perang Dingin. Jika Perang Dingin melibatkan dua kubu, Timur-Barat, perang digital dengan senjata media sosial, yang cenderung mengharubirukan sistem nilai, justru melibatkan semua. Sungguh menjadi perang semua oleh semua dan melawan semua, bellum omnium contra omnes. Tidak jelas kawan atau lawan.
Perang digital tidak kalah ganas dan kejamnya dengan Perang Dingin
Atas kondisi yang cenderung memburuk itu, Kompas dengan segala keterbatasannya mengapresiasi dan menaruh harapan besar kepada cendekiawan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat yang terperangah dalam pusaran perubahan yang cepat dan serempak.
Sejak 2008, Kompas memberikan penghargaan kepada sejumlah cendekiawan, termasuk kepada Ashadi Siregar dan Anita Lie pada 2018 ini, yang berkontribusi gagasan perubahan kepada bangsa melalui Kompas. Lebih-lebih karena gagasan perbaikan kian dibutuhkan dalam menghadapi perubahan yang datang bergelombang.
Gelombang perubahan
Setelah Perang Dingin berakhir awal 1990-an, dunia dilanda dengan apa yang digambarkan penuh kegalauan, ketidakpastian, serba kompleks, begitu ambigu, dan sangat rancu. Sebelum kondisi ketidakpastian dan kerancuan surut, keadaan justru diperburuk oleh gangguan digital, digital disruption.
Terlepas dari segala sumbangan besar bagi kemajuan, teknologi digital telah menciptakan kerancuan luar biasa antara benar dan salah, antara baik dan buruk, antara substansi dan sensasi, antara suara (voice) dan kegaduhan (noise), antara asli dan kepalsuan.
Kekacauan dan kerancuan zaman ini tentu membutuhkan pencerahan dan panduan dari kaum cendekiawan. Hanya saja sejauh diperbincangkan, peran kaum cendekiawan justru terkesan surut dan terdesak ke belakang di tengah kegaduhan gelombang perubahan belakangan.
Kekacauan dan kerancuan zaman ini membutuhkan pencerahan dan panduan dari kaum cendekiawan
Padahal, peran strategis kaum cendekiawan senantiasa ditunggu-tunggu, terutama dalam menghadapi berbagai kondisi kritis. Jangankan situasi kritis, kondisi normal pun membutuhkan peran kaum cendekiawan untuk mengantisipasi perubahan karena tidak selamanya hidup di bawah sinar bulan purnama.
Perlu dikemukakan pula, sudah terdengar sinisme, tidak sedikit cendekiawan terbawa-bawa arus kekacauan dan kerancuan zaman. Mungkin karena pengaruh tarikan kepentingan pragmatis, tidak sedikit cendekiawan kehilangan orientasi nilai dan etik, ikut-ikutan menyebarkan kepalsuan, kebencian, serta kemunafikan. Dampaknya tidak hanya buruk bagi kemanusiaan, tetapi juga bagi keindonesiaan.