Keberhasilan REDD+ Bergantung pada Kebijakan Politik
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·3 menit baca
OSLO, KOMPAS—Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD+) berjalan lambat karena bergantung pada kebijakan politik. Butuh waktu lama untuk mengambil keputusan dan mengubah peraturan. Di sisi lain, kondisi perubahan iklim global nyaris tiba di titik tak bisa berproses balik. Hal yang dibutuhkan ialah perhatian lebih pada kebijakan daerah dan tapak.
Hal tersebut mengemuka pada pembukaan dan jumpa pers rangkaian pembukaan acara Oslo Tropical Forest Forum, 27-18 Juni 2018, di Oslo, Norwegia. Hal itu disampaikan senior forum yang dihadiri perwakilan negara mitra Norwegia dalam pendanaan iklim, di antaranya Indonesia, Kongo, Brasil, Peru, Guyana, Etiopia, Meksiko, dan Kolombia.
Pertemuan ini dilangsungkan di tengah kabar hilangnya tutupan hutan yang tinggi pada tahun 2017, yakni mencapai 29,4 juta hektar atau seluas 40 lapangan sepak bola per menit. Angka hilangnya tutupan hutan ini hanya turun sedikit dari rekor tahun 2016 yang mencapai 29,7 juta hektar. Rabu (27/6/2018), Global Forest Watch meluncurkan data hilangnya tutupan hutan 2017.
Hilangnya tutupan hutan disebabkan konversi hutan menjadi, antara lain perkebunan kelapa sawit, peternakan sapi, menanam kedelai, dan beragam kebun lain, serta pertambangan, dan jalan raya.
”Ada beberapa hasil bagus seperti Amazon Fund, sebagai gambar besar memang masih banyak belum berhasil, tetapi di provinsi-provinsi ada hal-hal bagus. Kita tak bisa memulai sesuatu yang baru, tetapi bagaimana memperluas dan meningkatkan apa yang sudah ada,” kata Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Ola Elvestuen dalam jumpa pers.
Program REDD+ di Indonesia saat ini baru akan memulai fase ketiga implementasi dan saat ini baru menerima sekitar 215,8 juta dollar AS atau sekitar 20 persen dari komitmen 1 miliar dollar AS. Pelaksanaan REDD+ berubah dari pembentukan Satgas REDD+ kini dilimpahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Masyarakat adat
Program REDD+ amat berkaitan dengan keberadaan masyarakat adat. ”Sekitar 24 persen karbon di permukaan tanah ada di hutan tropis yang selama ini dijaga masyarakat adat. Namun, mereka masih mengalami kriminalisasi dan tidak diberi hak atas tanah mereka. Kalau ingin menyelamatkan karbon, semua izin harus ditinjau ulang dan kalau perlu dicabut,” ucap Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi.
Rukka mengkritik pendanaan iklim yang justru melewatkan inisiatif yang telah dilakukan di daerah-daerah. ”Mengapa Kabupaten Tambrauw yang sudah menolak kelapa sawit dan menolak tambang di kawasan hutan tidak mendapatkan bantuan. Mereka ingin membangun pembangkit listrik tenaga air saja tidak mampu karena tak punya uang. Program REDD+ harus lebih melihat pada aktivitas yang ada di bawah, jangan hanya melihat dari tataran global,” ungkapnya.
Sulit dicapai
Pakar iklim dan anggota kehormatan World Resources Institute-Brasil Carlos Nobre mengatakan, target untuk menahan kenaikan suhu 1,5 derajat celsius seperti tercantum dalam Kesepakatan Paris sulit dicapai. ”Saat ini kita telah kehilangan 18 persen dari hutan di Amazon Basin. Batasnya adalah 22 persen untuk mencapai titik di mana kita tidak bisa membalik proses,” ujarnya.
Saat ini kita telah kehilangan 18 persen dari hutan di Amazon Basin. Batasnya adalah 22 persen untuk mencapai titik di mana kita tidak bisa membalik proses.
Untuk bisa mengembalikan sekitar 30 persen hutan yang telah hilang secara global, perlu dana sekitar 300 miliar dollar AS dalam kurun waktu 2020-2025.
Pada hari pertama itu, Badan Restorasi Gambut (BRG) mendapat kesempatan untuk memaparkan program Desa Peduli Gambut pada acara sesi panel diskusi makan siang. Deputi III Edukasi, Sosialisasi, dan Kemitraan BRG Myrna Asnawati Safitri memaparkan, saat ini sekitar 790 desa telah difasilitasi BRG, kelompok lembaga swadaya masyarakat, dan sejumlah pemegang konsesi.