”Kompas” Menatap 50 Tahun Kedua
Kamis (28/6/2018) ini, harian Kompas berusia 53 tahun. Terbit kali pertama di Jakarta pada 28 Juni 1965, koran ini pernah mengalami masa-masa awal yang sulit, tetapi kemudian berkembang di tengah berbagai tantangan dan perubahan zaman. Kini, Kompas menatap 50 tahun kedua.
”(Kompas) terbit pertama di tengah kondisi politik dan ekonomi kurang menguntungkan, hadir dalam kondisi memprihatinkan.” Demikian catatan Jakob Oetama, pendiri Kompas bersama PK Ojong (almarhum), dalam pengantar buku 50 Tahun Kompas Memberi Makna (Penerbit Buku Kompas, 2015).
Kondisi memprihatinkan itu, antara lain, bahkan mengakibatkan Kompas pernah beberapa kali dilarang terbit. Beberapa hari awal Oktober 1965, misalnya, pemerintah melarang sejumlah koran di Jakarta, termasuk Kompas, untuk terbit atau beredar. Aparat keamanan mencegah informasi simpang siur setelah peristiwa 30 September.
Lalu, pada 20 Januari-5 Februari 1978, setelah pemberitaan demo mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden untuk kali ketiga, Kompas bersama beberapa media juga dilarang terbit. Setelah berhenti terbit selama dua pekan, koran ini kembali menyapa pembaca.
Bagaimanapun, dua kali larangan terbit itu turut mematangkan Kompas. Jakob Oetama, masih dari buku 50 Tahun Kompas Memberi Makna, mengakui, dua peristiwa itu melecut Kompas untuk terus berkembang dan disesuaikan perubahan zaman. Katanya, ”Meniti arus tiada akhir, built in dalam jiwa raganya, bukan melawan arus atau hanya putus asa ikut arus. Ngeli ning ora keli!”
Ngeli ning ora keli, bisa diartikan mengalir tetapi tidak hanyut.Prinsip yang tampak simpel, kerap diucapkan, tetapi senantiasa menantang diterapkan, terutama dalam momen-momen sulit. Lantas bagaimana Kompas kemudian bertahan sampai sekarang?
Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo mengungkapkan, media ini bisa langgeng selama 53 tahun karena mengembangkan prinsip jurnalistik yang terbuka, melibatkan banyak orang, dan tidak punya kepentingan selain mencerdaskan kehidupan bangsa. ”Kompas memberikan pencerahan kepada masyarakat, tidak pernah ada intervensi dari pemilik,” katanya.
Budiman, yang bergabung di Kompas selama 29 tahun, menyadari tantangan besar yang dihadapi pada masa depan. Namun, dia optimistis, media ini dapat terus berkembang, bahkan memasuki 50 tahun kedua. ”Anak-anak muda yang lebih siap dengan industri media dalam platform yang berbeda, dengan nilai-nilai yang sudah dipahami, akan bisa melanjutkan Kompas memasuki 50 tahun kedua,” katanya.
Optimisme serupa disampaikan Chief Executive Officer (CEO) Kompas Gramedia Lilik Oetama. Kompas diharapkan panjang umur, tetap jaya, tetap independen, kredibel, dan tetap sebagai penunjuk arah. Untuk menjaga pencapaian itu, dia mengajak, ”Untuk semua teman-teman di Kompas, kita harus tetap bersatu agar Kompas selalu nomor satu.”
Ucapan selamat
Atas ulang tahun Kompas hari ini, Presiden Joko Widodo mengucapkan selamat. Dalam video produksi Biro Pres, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Presiden Jokowi menyebutkan, membaca Kompas adalah sarapan paginya. Dia menghargai harian ini sebagai media yang cerdas dan selalu optimistis menatap Indonesia menjadi negara yang maju, negara yang damai, dan negara yang toleran.
Kompas selalu memberikan nutrisi untuk wawasan pembacanya. Semoga Kompas tetap tangguh dalam menembus perubahan zaman.
Secara terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyampaikan salam dan apresiasi kepada Kompas. Selama 53 tahun, media ini telah memberikan informasi, pelajaran, dan pengetahuan bagi kita masyarakat di Indonesia.
Di era digitalisasi sekarang ini, dibutuhkan banyak kreativitas dan kecepatan. Tentu, Kompas akan sanggup seperti itu.
Tantangan
Desakan era digital, revolusi media sosial, dan pergulatan sosial-politik nasional dan internasional menantang kita secara berbarengan. Revolusi teknologi informasi mendorong banjirnya informasi dari berbagai arah, terutama lewat media sosial. Kanal di jagat maya ini kian disesaki beragam informasi yang sebagian tidak terverifikasi, kabar kabur, berita palsu, kabar bohong (hoax), atau ujaran kebencian. Situasi kian rentan karena kelompok-kelompok pragmatis kerap sengaja memainkan semua itu demi memburu kepentingan politik sesaat tanpa peduli dampaknya yang menggerus harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam situasi kemerungsung itu, Kompas diharapkan kukuh menyajikan berita yang terverifikasi, tepercaya, dan dapat menjadi pegangan bagi masyarakat. Tak sekadar mengabarkan peristiwa, media ini dituntut turut memetakan berbagai persoalan, mendorong jalan keluar, serta mengawal perjalanan bangsa Indonesia menuju cita-cita sebagai bangsa yang maju, sejahtera, cerdas, damai, dan toleran.
Frans Sartono, wartawan senior Kompas, yakin media ini dapat memenuhi harapan itu. Setidaknya, semangat menjaga Indonesia itu dia rasakan dan membuat dia betah bekerja selama 29 tahun di perusahaan ini. ”Saya suka bekerja di Kompas karena nilai-nilai keindonesiaan itu benar-benar dipraktikkan di sini. Kita ingin membagi nilai-nilai itu kepada pembaca di seluruh Indonesia.”
Menapaki usia 53 tahun dan menatap 50 tahun kedua, Kompas dituntut terus menjadi penunjuk arah bagi bangsa Indonesia. Harapan besar yang senantiasa didengungkan karena memang media ini bernama ”Kompas”, nama yang diberikan Presiden Soekarno. Dalam buku Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama (2011), St Sularto menceritakan kembali pernyataan Soekarno kala itu.
Aku akan memberi nama yang lebih bagus... \'Kompas\'. Tahu toh apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba.