JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan sekitar 50 pengemudi ojek dalam jaringan dan warga yang mempersoalkan tidak disebutkannya sepeda motor sebagai jenis kendaraan bermotor umum ataupun perseorangan dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Kondisi ini disebutkan pemohon membuat mereka kerap mengalami diskriminasi dalam menjalankan usahanya melayani konsumen.
Dalam putusan MK yang dibacakan pada Kamis (28/6/2018) di Jakarta, mahkamah menilai, tidak ada kerugian konstitusional yang diderita pemohon. Permohonan pemohon juga disebut tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas norma. Pemohon menyebut tidak disebutkannya sepeda motor dalam Pasal 47 Ayat (3) Undang-Undang Lalu lintas dan Angkutan Jalan Raya (UU LLAJ) bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
”Dalil para pemohon yang menyatakan tidak dimasukkannya sepeda motor dalam Pasal 47 Ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. Pasal 47 Ayat (3) UU LLAJ justru memberikan perlindungan kepada setiap warga negara ketika menggunakan angkutan jalan, baik angkutan jalan dengan jenis kendaraan bermotor umum maupun perseorangan,” tutur Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan Putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018 tersebut.
Dalam sidang pleno pembacaan putusan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, mahkamah mempertimbangkan, Pasal 47 Ayat (3) UU LLAJ tersebut adalah norma hukum yang berfungsi melakukan rekayasa sosial agar warga negara menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan, baik kendaraan bermotor perseorangan maupun kendaraan bermotor umum.
Ketentuan atau norma itu dengan demikian tidak ada kaitannya dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 lebih berkaitan dengan perlakuan serta kedudukan di hadapan hukum ketika terjadi pelanggaran hukum. Oleh karena itu, MK tidak menemukan adanya pertentangan antara norma dalam UU LLAJ itu dan normal dalam konstitusi.
Pertimbangan serupa diberikan mahkamah untuk menjawab dalil pemohon yang mengatakan UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Mahkamah berpendapat, tidak ada korelasi antara pasal di konstitusi yang memberikan jaminan, pengakuan, dan perlindungan serta kepastian hukum kepada warga negara itu dengan materi Pasal 47 Ayat (3) UU LLAJ. Pasal yang dipersoalkan pemohon itu pun tidak bertentangan dengan konstitusi.
Mengenai keberatan pemohon yang menyebutkan tidak adanya sepeda motor yang disebutkan di dalam UU LLAJ, menurut Arief, tidak tepat. Sebab, keberadaan motor sebenarnya juga telah disebutkan di dalam Pasal 47 Ayat (2) Huruf a UU LLAJ.
”Mahkamah tidak menutup mata adanya fenomena ojek. Namun, hal tersebut tidak ada hubungannya dengan konstitusional atau tidak konstitusionalnya norma Pasal 47 Ayat (3) UU LLAJ karena faktanya ketika aplikasi online yang menyediakan jasa ojek belum ada atau tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan keberadaan Pasal 47 Ayat (3) UU LLAJ,” ujar Arief.
Membaca konstruksi UU LLAJ, mahkamah menilai, sepeda motor bukan angkutan jalan yang diperuntukkan mengangkut barang dan/atau orang apabila dihubungkan konteksnya dengan Pasal 47 Ayat (3) UU LLAJ.
”Pengaturan yang demikian dimaksudkan agar terwujud angkutan jalan yang aman dan selamat bagi pengemudi, penumpang, dan pengguna jalan. Dengan perkataan lain, sepeda motor bukanlah angkutan jalan yang diperuntukkan mengangkut barang dan/atau orang dihubungkan konteksnya dengan Pasal 47 Ayat (3) UU LLAJ,” kata Arief.
Dalam konklusinya, Ketua MK menyebutkan, permohonan pemohon itu tidak beralasan menurut hukum sehingga menolak seluruhnya permohonan pemohon.