Organisasi Keagamaan Berpotensi Cegah Perbudakan dan Perdagangan Manusia
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah warga negara Indonesia yang diperbudak di Indonesia atau di luar negeri masih tinggi. Untuk mencegah semakin bertambahnya kejadian ini, organisasi keagamaan di Indonesia diajak untuk menaikkan kesadaran tentang masalah perbudakan modern dan perdagangan manusia terhadap masyarakat yang rentan.
Berdasarkan data Indeks Perbudakan Dunia (GSI), jumlah WNI yang diperbudak di Indonesia atau di luar negeri masih tinggi bahkan semakin naik. Pada 2014, GSI mencatat jumlah WNI yang diperbudak yakni 714.100 orang, sedangkan pada 2016 bertambah menjadi 736.100 orang.
GSI telah menyoroti kejadian eksploitasi pekerja migran di seluruh Asia, Timur Tengah, Afrika, Kepulauan Pasifik, dan Amerika Utara. GSI mencatat, sebagai negara sumber utama migrasi pekerja, pekerja Indonesia di luar negeri menghadapi praktik kerja yang tidak adil dan kondisi kerja yang berat, serta mencakup pekerja paksa, eksploitasi, dan pelecehan.
Kejadian tingginya jumlah eksploitasi pekerja ini membuat Institut Etika dan Peradaban Universitas Paramadina yang bekerjasama dengan Jaringan Kebebasan Global (Global Freedom Network/GFN) mengadakan program pelatihan. Tujuan dari program pelatihan ini yaitu untuk meningkatkan pemahaman tentang perbudakan modern dan perdagangan manusia.
Dalam Indeks Perbudakan Dunia, perbudakan modern didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang memperlakukan orang lain sebagai properti miliknya, sehingga kemerdekaan orang itu terampas lalu dieksploitasi demi kepentingan orang yang melakukan praktik perbudakan.
Pelatihan ini merupakan tindak lanjut dari deklarasi yang telah dilakukan para pemuka agama. Sebelumnya, pada Maret 2017, para pemuka agama dari enam agama di Indonesia menandatangani deklarasi bersama untuk melawan perbudakan modern di kantor Wakil Presiden, Jakarta.
Pada deklarasi tersebut, para pemuka agama berkomitmen untuk mengakhiri perbudakan modern yang melibatkan WNI, baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu, Wapres Jusuf Kalla juga menegaskan bahwa diperlukan tindakan nyata untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat rentan tentang tindakan dari perbudakan modern.
Pelatihan dilaksanakan di tiga daerah, yakni Cirebon (Jawa Barat), Lombok (Nusa Tenggara Barat), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). Ketiga daerah ini dipilih sebagai tempat pelatihan karena banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri berasal dari daerah tersebut sehingga rentan terhadap eksploitasi pekerja.
Selain itu, program yang telah dilaksanakan pada Oktober-Desember 2017 ini juga ditujukan untuk kalangan pemuka dan organisasi agama, lembaga pemerintah daerah, dan masyarakat madani.
Ketua Institut Etika dan Peradaban Universitas Paramadina Pipip Rifai Hasan menyampaikan, program pelatihan ditujukan untuk tokoh dan organisasi agama karena mereka memiliki peran besar dalam memengaruhi masyarakat.
”Organisasi agama, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, sangat penting dalam mencegah bertambahnya perbudakan modern. Hal ini karena mereka mempunyai akses langsung dengan masyarakat sehingga efektif dalam menyampaikan pesan,” ujar Pipip di Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Menurut Pipip, organisasi agama dapat mengurangi jumlah perbudakan dan perdagangan manusia dengan mencegah masyarakat bekerja di luar negeri. Tokoh agama juga perlu mengajak masyarakat untuk meningkatkan keterampilannya sehingga dapat mencari penghasilan secara mandiri.
Dalam program pelatihan tersebut, kalangan pemuka dan organisasi agama, lembaga pemerintah daerah, dan masyarakat madani juga diajak untuk merumuskan masalah terkait penyebab terjadinya perbudakan dan perdagangan manusia.
Hasil temuan menyatakan, mayoritas pekerja yang diperdagangkan dan diperbudak tidak berpendidikan cukup dan secara umum minim keterampilan kerja. Selain itu, perbudakan dinilai masih kerap terjadi karena minimnya perlindungan dari pemerintah ataupun perusahaan bagi pekerja migran.
Dilakukan secara masif
Perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia, Mahsanah, menyebutkan, program pelatihan perlu dilakukan secara masif dengan melibatkan organisasi masyarakat dan keagamaan agar masyarakat dapat mengetahui keuntungan dan kerugian menjadi pekerja migran.
”Masyarakat perlu diberi pengetahuan tentang peraturan pemerintah terkait ketenagakerjaan. Kami melihat TKI pria dibandingkan wanita saat ini sudah banyak mengetahui tentang UU Ketenagakerjaan yang bisa membekali dirinya bekerja di luar negeri,” kata Mahsanah.
Selain Indonesia, Australia juga menjadi negara yang fokus melakukan sejumlah upaya untuk mengakhiri masalah perbudakan modern dan perdagangan manusia.
Duta besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan mengatakan, saat ini Australia sedang membahas mengenai UU Antieksploitasi Pekerja, Perbudakan, dan Perdagangan Manusia. ”Kami juga memaksa dunia bisnis atau usaha untuk mencegah dan memberantas perbudakan modern dari bisnis yang dijalankannya,” ujarnya.