Di balik keunggulan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum di Jawa Barat, Ganjar Pranowo-Taj Yasin di Jawa Tengah, dan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak di Jawa Timur dari hasil hitung cepat, ada hal yang mengejutkan. Hal itu adalah perlawanan sengit yang dibuktikan oleh peningkatan suara signifikan dari para penantang, khususnya pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu di Jawa Barat dan Sudirman Said-Ida Fauziyah di Jawa Tengah.
Keunggulan setiap pasangan terungkap dari survei pascapilkada (exit poll) Kompas di tiga provinsi penyelenggara pilkada di Pulau Jawa. Hasil itu juga terkonfirmasi oleh hasil hitung cepat (quick count). Sekalipun bukan hasil final kemenangan, kesimpulan kedua hasil survei tersebut dapat dijadikan indikator dalam memprediksi keunggulan setiap pasangan yang bertarung dalam pilkada kali ini.
Sebenarnya keunggulan dari tiap-tiap pasangan di ketiga provinsi sudah terprediksikan melalui hasil-hasil survei sebelumnya. Namun, hasil pilkada kali ini memunculkan kejutan tatkala mencermati lonjakan suara yang diperoleh pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu dan Sudirman Said-Ida Fauziyah.
Sejumlah survei yang dilakukan sebelum pilkada, misalnya, menempatkan Sudirman Said-Ida Fauziyah dalam posisi yang terkalahkan secara telak. Kedua pasangan terpaut hingga lebih dari 50 persen dengan pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin. Namun, saat hari pencoblosan pasangan yang didukung Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mampu memperkecil kekalahan hingga terpaut hanya 16,5 persen.
Wilayah, seperti Brebes, Tegal, dan Wonosobo, yang sebelumnya dominan dikuasai Ganjar Pranowo-Taj Yasin tergerus. Bahkan, wilayah yang menjadi benteng PDI-P, seperti Surakarta, mulai dibayangi oleh penguasaan Sudirman Said-Ida Fauziyah.
Ideologis
Perlawanan yang juga mengejutkan terjadi di Jawa Barat. Hasil survei sebelum dan sesudah pilkada cukup konsisten menampilkan keunggulan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum. Dukungan terhadap Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi juga tampak besar. Kedua pasangan bersaing ketat. Di sisi lain, pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu dan Tb Hasanuddin-Anton Charliyan tertinggal.
Namun, saat hari pencoblosan pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang didukung Partai Gerindra, PKS, dan PAN ini mampu menyaingi besaran penguasaan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum. Pasangan ini mampu menguasai hingga 29,5 persen. Bahkan, hasil survei ini menunjukkan mereka mampu menggeser kedudukan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Sumber peningkatan dukungan terhadap Sudrajat-Ahmad Syaikhu terjadi di wilayah Bogor, Depok, dan Bekasi yang terkategorikan dalam ceruk ”megapolitan”. Namun, pasangan ini pun mampu meningkatkan suara di sejumlah wilayah lain di Jabar.
Baik di Jawa Barat maupun Jawa Tengah menunjukkan perlawanan ”ideologis” yang ditampilkan oleh pasangan yang selama ini terposisikan sebagai yang ”terkalahkan”. Hasil-hasil survei menempatkan mereka dengan capaian yang rendah, tetapi saat pencoblosan kejutan ditunjukkan.
Baik di Jawa Barat maupun Jawa Tengah menunjukkan perlawanan ”ideologis” yang ditampilkan oleh pasangan yang selama ini terposisikan sebagai yang ”terkalahkan”. Hasil-hasil survei menempatkan mereka dengan capaian yang rendah, tetapi saat pencoblosan kejutan ditunjukkan.
Kondisi yang agak berbeda di Jawa Timur. Kejutan adanya perubahan besaran proporsi dukungan saat pencoblosan tidak terjadi. Konfigurasi dukungan masih berjalan sesuai dengan prediksi survei prapilkada. Akan tetapi, munculnya pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak sebagai pemenang menjadi ”kejutan” tersendiri. Bagi masyarakat Jawa Timur, kemenangan Khofifah menjadikan dirinya sebagai perempuan pertama yang menjabat gubernur di provinsi ini. Begitu pula kemenangan Khofifah menjadi lebih mengejutkan setelah ketiga kali ia berkontestasi.
Sekalipun kejutan-kejutan dalam pilkada kali ini beragam, kisah perlawanan yang mengejutkan tersebut punya implikasi politik yang tidak dapat dipandang remeh. Perlawanan yang ditunjukkan oleh besaran dukungan terhadap Sudirman Said- Ida Fauziyah dan Sudrajat-Akhmad Syaikhu, misalnya, menunjukkan soliditas dan mobilitas pendukung partai-partai koalisi Gerindra, PKS, dan PAN dalam berkontestasi.
Modal politik demikian menjadi sisi lebih bagi partai-partai dalam menjajaki persaingan Pemilu Legislatif dan Presiden 2019. Akan tetapi, di sisi lain tentu saja menjadi ancaman serius bagi partai dan kekuatan politik lain.