Hasil Pilkada Jadi Pertimbangan
JAKARTA, KOMPAS - Partai politik menjadikan hasil pilkada 2018, sebagai pertimbangan dan bahan untuk menentukan posisi tawar dalam penyusunan koalisi di Pemilihan Presiden 2019. Usai pilkada, sejumlah elite politik langsung berkomunikasi terkait persiapan Pilpres 2019.
Kontestasi di Pilpres 2019 juga makin dinamis setelah para pemohon yang meminta tafsir tentang boleh tidaknya mencalonkan kembali Jusuf Kalla yang telah dua kali menjadi wakil presiden, untuk kembali menjadi calon wakil presiden (cawapres), kandas di Mahkamah Konstitusi.
MK, Kamis (28/6/2018) dalam putusannya di Jakarta menyatakan, para pemohon uji materi, yakni Muhammad Hafidz, Perkumpulan Rakyat Proletar, Dorel Amir, serta Syaiful Bahri dan kawan-kawan (Koalisi Advokat Nawacita Indonesia),tidak memiliki kedudukan hukum.
Dua pasal yang diuji di MK ialah Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kedua pasal itu mengatur, salah satu syarat menjadi capres atau cawapres adalah belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, mengatakan, kedua pasal itu memberikan hak yang sama kepada warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wapres. Pembatasan masa jabatan dua kali itu pun tidak menghalangi hak pemohon mencalonkan diri sebagai presiden atau wapres, sebab mereka belum pernah menjadi presiden atau wapres selama dua masa jabatan sebagaiman dibatasi oleh dua pasal itu.
“Dengan pertimbangan di atas, mahkamah berpendapat para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk bertindak sebagai pemohon dalam perkara a quo,” kata Palguna.
Istirahat
Kalla sempat dilirik sejumlah pihak, seperti PDI-P untuk kembali jadi cawapres pendamping Presiden Joko Widodo di Pilpres 2019.
Atas putusan MK tersebut, Kalla, mengungkapkan keinginannya untuk beristirahat dan lebih banyak bersama keluarga. “Saya tidak kecewa, karena dari awal saya sudah bilang, kalaupun saya diminta menjadi wapres karena untuk mengabdi negeri, bisa-bisa saja, asalkan tidak menabrak undang-undang apalagi konstitusi,” tuturnya.
Kalla juga mengatakan, sulit baginya untuk menjadi capres karena tak memiliki partai pengusung. Dia juga menyadari usianya yang tahun depan 77 tahun.
“Cukuplah, biar yang muda-muda saja (yang maju menjadi capres),” ujarnya.
Sebelumnya, sempat muncul kabar bahwa Kalla diincar menjadi capres oleh poros koalisi ketiga yang diwacanakan Partai Demokrat. Wacana ini muncul khususnya, pasca pertemuan Kalla dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (25/6/2018).
Komunikasi
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy mengatakan, putusan MK itu membuat Jokowi tidak mungkin mengambil keputusan tentang cawapres pendampingnya di Pilpres 2019, tanpa melibatkan masukan dari partai koalisi pendukungnya.
“Masukan itu yang akan digunakan sebagai jalan untuk mengambil keputusan soal cawapres. Pada akhirnya, yang akan mengambil keputusan adalah Pak Jokowi,” katanya.
Kemarin, Romahurmuziy bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Dalam pertemuan yang dilakukan dengan membawa rombongan pengurus partai masing-masing, dibicarakan persiapan untuk segera memfinalisasikan bangunan koalisi pendukung Jokowi, termasuk menentukan figur cawapres.
“Kami menilai waktu untuk memutuskan koalisi pemerintah perlu ditentukan, sehingga kita tidak perlu terburu-buru mengambil keputusan terkait calon pemimpin yang akan maju (di Pilpres 2019),” kata Airlangga.
Dalam rangka memfinalisasikan koalisi dan posisi cawapres, Romahurmuziy menuturkan, capaian partainya di Pilkada 2018 cukup memuaskan dan menjadi tanda-tanda baik untuk PPP di Pemilu 2019. Pasangan calon yang diusung PPP unggul di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dua dari antaranya adalah kader PPP yaitu UU Ruzhanul Ulum sebagai calon wakil gubernur Jawa Barat, dan Taj Yasin sebagai calon wakil gubernur Jawa Tengah. Pemilih di tiga provinsi itu, sekitar 49 persen pemilih nasional.
“Bagi kami sebagai partai, hasil itu akan berpengaruh di Pemilu Legislatif 2019,” katanya.
Bagi kami sebagai partai, hasil (pilkada) itu akan berpengaruh di Pemilu Legislatif 2019,
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan, hasil pilkada juga menaikkan kepercayaan diri PPP di antara partai koalisi pendukung Jokowi dan partai lain.
Secara terpisah, Wakil Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid pun meyakini hasil pilkada bisa meningkatkan daya tawar partainya saat membangun koalisi.
“Calon kita di Jatim memang kalah. Namun, kemenangan Khofifah-Emil itu menunjukkan juga kemenangan NU (Nahdlatul Ulama) yang merupakan basis massa PKB,” jelasnya.
Namun, Wakil Sekjen DPP PDI-P Eriko Sotarduga menuturkan, bagi partainya, hasil pilkada tidak menjadi pertimbangan utama dalam membangun koalisi di 2019. Ini karena kemenangan di pilkada lebih ditentukan oleh figur calon kepala/wakil kepala daerah. Ditambah lagi, evaluasi PDI-P, tidak semua partai dalam koalisi di pilkada di sejumlah daerah, yang bisa bekerja sama dan bekerja optimal dalam memenangkan calon.
Sekretaris Jenderal DPP PDI-P, Hasto Kristiyanto mengatakan, hingga saat ini PDI-P masih belum melakukan pembahasan soal calon wakil presiden untuk pendamping Jokowi. Sejauh ini pihaknya masih harus menyamakan pandangan politik antarpartai politik pengusung.
"Siapa pun yang mendampingi Pak Jokowi harus betul-betul memperhatikan ketersatupaduan kepemimpinan tersebut, saling melengkapi dan sama-sama punya komitmen di dalam politik, anggarannya bagaimana, dalam politik ideologinya, di dalam politik luar negerinya," ujarnya.
Menurut dia, pencarian pemimpin bukanlah proses yang pragmatis. Namun harus melalui proses panjang, baik dialog antarpartai dan suara rakyat.
"Ini masih dilakukan dialog dan tidak lupa juga kontemplasi. Ini harus kita lakukan dengan baik karena kita bicara soal pemimpin yang mau tidak mau harus melalui sebuah prosesi suara rakyat itu sendiri," tutur Hasto.
Gerindra optimistis
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan hasil pilkada membangkitkan kepercayaan diri partainya, bahwa capres yang akan mereka usung yaitu Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, akan menang di 2019.
Kepercayaan ini muncul terutama setelah melihat hasil Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di dua daerah itu, terjadi lonjakan suara bagi calon yang diusung Gerindra dibandingkan hasil survei sejumlah lembaga survei sebelum hari pemungutan suara pilkada, 27 Juni.
Lonjakan suara itu, menurut Fadli, mengindikasikan kuatnya keinginan masyarakat agar terjadi pergantian presiden di 2019 dan Prabowo terpilih di 2019.
Kerjasama yang terjalin antara Gerindra dengan PKS dan PAN di Pilkada Jabar ataupun Pilkada Jateng, lanjut Fadli, menjadi modal besar untuk berkoalisi di Pilpres 2019.