Kemenangan Pilkada Bukan Jaminan Kemenangan Partai
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah partai politik telah mengklaim kemenangan calon yang mereka usung di beberapa daerah dalam Pilkada 2018. Klaim itu juga dianggap sebagai kemenangan partainya dan modal kontestasi Pemilu 2019. Padahal, klaim kemenangan ini belum tentu menjamin parpol itu bisa menang atau lolos ambang batas parlemen pada 2019.
Peta politik sebenarnya masih sangat cair dan sulit ditebak. Terlebih sejumlah pemenang pilkada berdasarkan hitung cepat ternyata bukan kader murni dari parpol yang mengusungnya.
Menurut pengamat politik dari PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, parpol tidak bisa serta-merta mengklaim Pilkada 2018 sebagai kemenangan partainya. Pada Pilkada 2018, pemilih lebih melihat figur calon dibandingkan partai pendukungnya. Selain itu, koalisi parpol pengusung tiap calon dalam Pilkada 2018 sangat cair, dinamis, dan beragam.
”Peta politiknya sulit ditebak, apalagi jika calon yang diusung itu bukan merupakan kader partainya atau dari nonpartai. Seharusnya, jika ingin melihat kemenangan secara jelas, parpol harus melihat siapa kader partai yang mereka usung dan menang dalam Pilkada 2018,” katanya dalam diskusi bertajuk ”Membaca Hasil Pilkada 2018, Meneropong Peta Pilpres 2019” di Jakarta, Jumat (29/6/2018).
Ari mengatakan, klaim kemenangan pilkada ini hanya dijadikan upaya untuk meyakinkan partainya agar bisa lolos dalam ambang batas parlemen Pemilu 2019. Penggolongan partai kecil dan menengah ini dapat dilihat dari perolehan jumlah parpol yang tidak sampai 10 persen dalam Pemilu 2014.
”Saya melihat klaim ini sebagai satu bentuk ketakutan mereka yang belum tentu lolos dalam ambang batas parlemen nanti. Mereka hanya bisa membaca peluang partainya dari sisi hasil Pemilu 2014 dan sejumlah survei elektabilitas Pemilu 2019,” katanya.
Pengamat politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, menjelaskan, klaim dari sejumlah parpol ini juga bertujuan untuk meningkatkan posisi tawar-menawar mereka dalam koalisi Pemilu 2019 yang sudah terbentuk. Selain itu, parpol ini seakan ingin menunjukan basis kekuatan mereka di sejumlah daerah.
”Naiknya posisi tawar partai kecil dan menengah dapat membuat negosiasi politik menjadi lebih alot. Jika terjadi kebuntuan politik, peluang bagi parpol untuk membentuk poros ketiga bisa jadi terbuka,” ujarnya.
Dukungan
Arif menjelaskan, sejumlah cagub terpilih telah mendeklarasikan dukungannya kepada capres tertentu. Contohnya yaitu Ridwan Kamil dan Khofifah Indar Parawansa yang secara terbuka menyatakan bakal mendukung Joko Widodo dalam pemilihan presiden.
”Meski mereka bukan merupakan kader partai, mereka telah menyatakan dukungan kepada Presiden Joko Widodo,” ujarnya.
Arif mengatakan, pernyataan tersebut belum bisa dipegang seutuhnya karena mereka bisa saja mengubah dukungannya setelah menjabat nanti. Oleh sebab itu, para capres harus bisa menjaga dukungan ini agar elektabilitasnya terjaga.
Pendiri Lembaga Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menjelaskan, dukungan dari para cagub tersebut belum tentu dapat memengaruhi masyarakat dalam Pemilu 2019. ”Saat ini masyarakat sudah makin cerdas terhadap kepala daerahnya. Bisa jadi akan ada reaksi negatif jika kepala daerahnya mendukung capres tertentu, apalagi kepala daerah tersebut berasal dari nonpartai,” ujarnya.
Ray menilai, para calon kepala daerah, khususnya cagub, tersebut mempertaruhkan citra politiknya jika memberikan dukungan pada capres tertentu. Ray menambahkan, dukungan dari cagub tersebut belum tentu bisa sampai ke masyarakat.
”Karena intensitas gubernur berinteraksi dengan masyarakat lebih jarang dibandingkan bupati atau wali kota. Seharusnya dukungan terhadap capres ini bisa lebih efektif jika dari bupati atau wali kota,” katanya.