KPU Diminta Selesaikan Polemik Pelantikan Komisi Independen Pemilihan Aceh
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Polemik pelantikan komisioner Komisi Independen Pemilihan/KPU Aceh periode 2018-2022 hingga kini belum tuntas. Sejumlah pihak di Aceh mendesak Komisi Pemilihan Umum Indonesia agar segera mencari jalan keluar penyelesaian polemik tersebut.
Diskusi bertajuk ”Mencari Solusi dan Mendorong Penyelesaian Polemik Pelantikan KIP Aceh” yang digelar oleh Laboratorium Ilmu Politik Unsyiah dan Forum LSM Aceh, di Banda Aceh, Jumat (29/6/2018), menyimpulkan, polemik itu harus segera diselesaikan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia dianggap pihak yang paling bertanggung jawab terhadap penyelesaian polemik itu.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tidak bersedia melantik komisioner KIP Aceh periode 2018-2022, sementara masa jabatan komisioner periode 2013-2018 telah berakhir. Irwandi beralasan, pelantikan komisioner yang baru akan bertentangan dengan Qanun/Perda Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemilu di Aceh yang menyebutkan, jika tahapan pemilu sedang berjalan, masa jabatan semua komisioner dapat diperpanjang hingga tahapan pemilu selesai. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, komisioner KPU masa jabatannya lima tahun sejak dilantik.
Sebagaimana diketahui, saat ini tahapan pemilu legislatif, Dewan Perwakilan Daerah, dan pemilihan presiden sedang berjalan. Bahkan, saat ini KIP Aceh melakukan verifikasi terhadap bakal calon Dewan Perwakilan Daerah.
Anggota DPR Aceh Abdullah Saleh menuturkan, kekosongan komisioner KIP Aceh dikhawatirkan akan memengaruhi pelaksanaan Pemilu 2019. Saat ini, tugas KIP Aceh diambil alih oleh KPU. Menurut dia, KPU akan terbebani dengan tugas tambahan itu. ”Polemik ini harus segera diselesaikan,” kata Abdullah.
Padahal, tujuh komisioner KIP Aceh yang baru telah dipilih oleh DPR Aceh pada 7 Mei 2018. Aceh memiliki aturan sedikit berbeda dengan provinsi lain. Jika pada provinsi lain KPU provinsi dilantik oleh KPU pusat, di Aceh KIP dilantik oleh Gubernur Aceh dan KIP kabupaten/kota dilantik oleh bupati/wali kota. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Khusus untuk Aceh, komisioner diseleksi oleh DPR Aceh, disahkan oleh KPU, dan dilantik oleh gubernur.
Dosen ilmu hukum Unsyiah, Zainal Abidin, mengatakan, dalam perspektif hukum, jika terjadi konflik regulasi, jalan keluar adalah mengikuti aturan yang di atasnya. Hierarki hukum di Indonesia adalah undang-undang berada di atas perda/qanun.
Dosen ilmu politik Unsyiah, Rustam Effendi dan Aryos Nivada, mengatakan, KPU harus membangun koordinasi dan komunikasi yang baik dengan para pihak di Aceh dan pusat untuk menyelesaikan polemik ini.
”KPU tidak boleh diam dan menyalahkan gubernur. Proses demokrasi sedang berjalan, jangan sampai mengalami kemunduran,” ujar Rustam.
Juru Bicara Pemprov Aceh Saifullah Abdulgani menuturkan, Gubernur menunda pelantikan hingga ada kejelasan regulasi agar tidak ada kemungkinan gugatan setelah dilantik. ”Selama Qanun Nomor 6 Tahun 2016 belum dianulir, pelantikan tidak akan dilakukan,” ucapnya.
Belakangan muncul wacana, DPR Aceh akan merevisi Qanun Nomor 6 Tahun 2016, khusus pada Pasal 58 Ayat 1, yang mengatur perpanjangan masa jabatan komisioner KIP. Namun, jika menunggu revisi, dikhawatirkan pelaksanaan tahapan pemilu yang sedang berjalan tidak maksimal. Oleh sebab itu, para pihak mendesak KPU agar mencari solusi menyelesaikan polemik tersebut.