Mengapa Syamsuar-Edy Menang di Riau, Petahana Kalah?
Hanya tinggal menunggu keputusan resmi Komisi Pemilihan Umum Riau bagi pasangan Syamsuar dan Edy Natar Nasution untuk ditetapkan sebagai calon terpilih gubernur dan wakil gubernur terpilih pada Pilkada Riau 2018.
Berdasarkan hitung cepat KPU Riau sampai Jumat (29/6/2018) pukul 10.00, kontestan nomor urut 1 itu sudah mengumpulkan 39,39 persen suara dari 92,10 persen suara yang sudah masuk.
Dengan sisa suara kurang dari 8 persen lagi, suara Syamsuar jelas tidak akan terkejar oleh runner-up, petahana Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman-Suyatno yang mendapat 24,84 persen, Firdaus-Rusli Effendi 19,71 persen, dan M Lukman Edy-Hardianto 16,06 persen.
Sebelumnya dari hitung cepat yang dilakukan oleh lembaga Polmark Research Center, pasangan Syamsuar sudah dinyatakan sebagai pemenang dengan perolehan suara 38,18 persen. Adapun rival, yakni Arsyadjuliandi, mendapat 24,35 persen, Firdaus 20,23 persen, dan Lukman 17,25 persen.
Banyak pihak sudah memperkirakan Syamsuar, Bupati Siak, akan memenangi pertarungan pilkada di Riau. Namun, tidak sedikit pula yang kurang yakin mengingat rival, terutama petahana, memiliki dukungan partai politik yang sangat kuat.
Andi, demikian panggilan akrab Arsyadjuliandi, diusung oleh partai idola rakyat Riau, yaitu pemenang Pemilu 2014, Partai Golkar. Bukan itu saja, Andi yang berpasangan dengan Bupati Rokan Hilir Suyatno dikawal oleh PDI-P dan Partai Hanura. Dari tiga partai itu, perolehan kursi di DPRD Riau sudah mencapai 25 atau 38,5 persen total suara di DPRD.
Di atas kertas, Andi, kontestan nomor 4, disebut-sebut bakal memenangi pertarungan Pilkada Riau 2018. Sebab, tiga kontestan lain, yaitu nomor 1, 2, dan 3, hanya mendapat dukungan 13 sampai 14 kursi atau berkisar 20 persen.
Namun, politik bukanlah hitung-hitungan di atas kertas. Terlalu banyak faktor yang terkait dan terpaut untuk menentukan hasil akhir.
Muncul pertanyaan, faktor apakah yang membuat Syamsuar unggul dalam Pilkada Riau 2018?
Menjawab pertanyaan itu tidak terlalu sulit karena sudah ada data survei lembaga Polmark pada awal Juni 2018. Hasil survei tentu tidak dapat disebutkan sebagai jawaban mutlak, tetapi setidaknya dapat menjadi acuan.
Preferensi pemilih partai politik pengusung Syamsuar-Edy Natar, yaitu PAN, PKS, dan Nasdem, menjadi salah satu faktor penentu. Dukungan warga PAN terhadap pasangan itu sangat solid, mencapai 80 persen, PKS sebesar 65 persen, dan Nasdem 55,3 persen.
Namun, pemilih dari partai pengusung pasangan calon lain justru sangat signifikan memberi suara kepada Syamsuar. Suara pemilih Partai Golkar yang mengalir kepada Syamsuar sebesar 31,6 persen, sedangkan Andi hanya 22,3 persen atau terpaut 9 persen.
Mengapa demikian? Hal ini dapat disebutkan karena Syamsuar adalah kader senior partai berlambang pohon beringin itu juga. Jadi, suara pemilih Partai Golkar terpecah.
Sementara itu, sebanyak 62,5 persen suara pemilih Partai Hanura juga lebih tertarik memilih Syamsuar. Hanya sebagian kecil atau 12,5 persen pemilih yang memberikan suara kepada Andi.
Pemilih PDI-P juga sangat signifikan memberi suara kepada Syamsuar sebesar 25 persen. Dukungan PDI-P kepada Andi hanya 31,9 persen atau hanya terpaut 6,9 persen.
Bukan hanya Golkar, PDI-P, dan Hanura, hampir setengah pemilih partai Gerindra yang mengusung Lukman Edy-Hardianto juga memilih Syamsuar. Angkanya mencapai 46,8 persen. Uniknya, hanya 7,6 persen suara pemilih Gerindra yang memilih Lukman Edy-Hardianto. Bahkan, pemilih partai berlambang garuda ini juga lebih suka kepada Firdaus-Rusli dengan dukungan 15,2 persen.
Pemilih PPP yang mengusung Firdaus-Rusli Effendi juga membelot kepada Syamsuar. Jumlahnya mencapai 28 persen. Sementara suara ke Firdaus hanya 32 persen.
Meski demikian, suara PKB yang mengusung Lukman Edy (kader PKB) cukup solid dengan dukungan 54,5 persen. Demikian pula kesolidan dukungan pemilih Partai Demokrat kepada Firdaus (kader Partai Demokrat) sebanyak 62,7persen.
Kesimpulannya, pemilih dari partai pengusung Syamsuar sangat solid, sedangkan pemilih dari partai pengusung rival terpecah kepada Syamsuar.
Faktor kedua adalah tingkat kepuasan terhadap kinerja petahana gubernur. Hampir setengah responden survei Polmark, yaitu 49,3 persen, tidak puas dan sangat tidak puas dengan kinerja Andi. Yang puas dan sangat puas hanya 33,3 persen dan 17,3 persen tidak menyawab.
Hal yang paling menohok adalah penilaian warga terhadap pemberantasan korupsi. Lebih dari setengah responden, tepatnya 55,3 persen, menganggap petahana belum serius menegakkan hukum, terutama dalam bidang korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Contoh yang paling kontradiktif adalah pembangunan tugu antikorupsi yang dilakukan anak buah Andi dari lingkungan Dinas Pekerjaan Umum pada 2016.
Selain itu, keluarga Andi kerap menjadi sasaran demonstrasi oleh mahasiswa dengan tuduhan menguasai proyek-proyek strategis di dinas-dinas Provinsi Riau. Tuduhan itu memang belum pernah disidik oleh penegak hukum, tetapi cukup membekas di masyarakat.
Selain itu, 55,3 persen responden menyatakan ekonomi rumah tangga di Riau tidak ada perubahan selama Andi menjabat. Sebanyak 14,6 persen menyatakan memburuk. Hanya 24,8 persen yang mengatakan membaik. Bahkan, 64,1 persen responden mengungkapkan lapangan pekerjaan di Riau sulit diperoleh.
Kinerja Firdaus juga terekam di dalam survei. Misalnya, 41,6 persen responden mengatakan, pengelolaan sampah tidak baik. Meski tidak disebutkan kota atau kabupaten yang disurvei, pengelolaan sampah di Pekanbaru selama Firdaus menjabat dianggap lebih buruk daripada wali kota sebelumnya.
Urusan pembuatan KTP, akta kelahiran, dan surat nikah juga dianggap berbelit-belit dan dipungut biaya. Hampir sepertiga responden mengatakan pembuatan izin usaha tidak mudah dan memberatkan warga.
Dari hasil survei Polmark, jelas tergambar berbagai persoalan Riau masa kini dan masa mendatang. Itulah pekerjaan rumah buat Syamsuar untuk membenahinya.
Namun, yang paling utama, Syamsuar harus mampu mencegah dan mengawal aparatur sipil negara di Riau, termasuk dirinya sebagai gubernur, agar tidak lagi memanfaatkan jabatan dan pengaruh untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Jangan sampai, gubernur ke-4 Riau ditangkap oleh KPK.