JAKARTA, KOMPAS- Negara memiliki pekerjaan rumah dalam hal mendefinisikan hoaks ke aturan perundangan dan memberi perlindungan kepada pengguna internet. Ketidakjelasan aturan dalam dua hal tersebut dikhawatirkan dapat memicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan kajian Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), setiap negara memiliki pengertian berbeda terhadap hoaks. Di Malaysia, hoaks diatur dalam Akta Antiberita Tidak Benar 2018. Dalam akta itu, hoaks diartikan sebagai informasi yang sebagian atau seluruhnya salah dan dapat merusak harmoni sosial. Di Filipina, dalam Social Media Regulation Act of 2017, hoaks didefinisikan sebagai informasi yang berisi kritik atas pemerintah.
Di Indonesia, pengertian hoaks diatur dalam Pasal 28 Ayat (2) UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dan dinilai sebagai informasi yang bisa menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Pasal 27 Ayat (3) UU yang sama mengatur informasi bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik juga dapat dijerat.
Koordinator Regional SAFEnet Damar Juniarto, Jumat (29/6/2018), di Jakarta, mengatakan, tidak adanya penjelasan rinci terkait definisi hoaks kerap disalahgunakan untuk mengkriminalisasikan seseorang dan rentan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut dia, antarnegara perlu duduk bersama untuk menyamakan persepsi dalam pengertian hoaks sehingga aturan yang ada tidak terkesan politis. Perumusan pun diharapkan juga melibatkan elemen masyarakat dan akademisi.
Selain definisi hoaks, perlindungan HAM pengguna internet juga mendesak dilakukan. Berkaca pada laporan United Nations Human Right Council tanggal 14 Juni 2018, terdapat 23 persen wanita mengalami pelecehan seksual di media daring setidaknya sekali dalam hidup mereka. Karena masalah tersebut, 28 persen di antaranya telah menutup akunnya.
Program Manager Forum Asia for Human Rights and Development Rachel Arinii Judhistari mengatakan, selama ini negara terlalu fokus mengatur kebebasan berekspresi di media daring tanpa dibarengi perlindungan terhadap penggunanya. Padahal, fenomena pelecehan seksual ini sangat dekat dengan pelanggaran HAM.