Faktor Risiko Tak Digarap Serius
Faktor risiko kesakitan dan kematian di Indonesia dinilai belum terkendali karena penanganannya belum serius. Hal itu ditandai dengan tingginya angka kasus penyakit menular.
JAKARTA, KOMPAS—Upaya menekan faktor risiko kesakitan dan kematian belum dilakukan secara serius. Hal itu mengakibatkan kejadian penyakit yang berkontribusi besar pada kematian dari tahun 1990 sampai 2016 tidak banyak berubah.
Peneliti On the Road to Universal Health Care in Indonesia 1990-2016: A Systematic Analysis for the Global Burden of Disease Study dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) Soewarta Kosen mengungkapkan hal itu, di Jakarta, Jumat (29/6/2018). Studi itu dilakukan IHME berkolaborasi dengan sejumlah lembaga di Tanah Air.
Kosen selaku peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan mengatakan, masalah kesehatan masyarakat di Indonesia banyak diketahui. Faktor risiko utama yang berkontribusi pada angka kesakitan dan kematian dikenali. Namun, upaya menurunkan faktor risiko itu tak digarap serius selama ini.
”Masalah kesehatan sudah di depan mata. Penyebabnya juga kita sudah tahu. Namun, itu tidak dikerjakan karena lemahnya komitmen pemerintah. Selain itu, terlalu banyak campur tangan dan lobi dari industri,” katanya.
Masalah kesehatan sudah di depan mata. Penyebabnya juga kita tahu. Namun, itu tidak dikerjakan karena lemahnya komitmen pemerintah. Selain itu, terlalu banyak campur tangan dan lobi dari industri.
Kosen mencontohkan, upaya pengendalian produk tembakau masih lemah. Padahal, Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 memperlihatkan prevalensi perokok pada orang dewasa 36,3 persen. Perempuan perokok prevalensinya naik dan usia merokok pertama kali semakin muda. Perilaku merokok jadi salah satu faktor risiko utama penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, stroke, penyakit paru obstruktif kronis, dan kanker.
Selain itu, kampanye pembatasan asupan gula, garam, dan lemak dinilai belum berjalan baik. Belum ada upaya sistematis yang menjelaskan kepada masyarakat risiko mengonsumsi gula, garam, dan lemak berlebihan. Terkait diare, usulan pemberian vaksin rotavirus pun belum disetujui padahal mayoritas diare yang terjadi akibat rotavirus.
Berdasarkan studi beban penyakit 2016 oleh IHME, pola makan tinggi gula, garam, dan lemak, hipertensi, kadar gula darah tinggi, kebiasaan merokok, gangguan gizi pada ibu dan anak, kegemukan, serta polusi udara, menjadi faktor risiko utama berkontribusi pada kejadian penyakit di Indonesia. Faktor-faktor risiko ini harus diturunkan.
Kerap ditunda
Sayangnya, regulasi dan program untuk menurunkan risiko kesehatan itu kerap ditunda dan dilemahkan implementasinya. Hal itu disebabkan lobi dari kalangan industri dan lemahnya kemauan politik para pengambil kebijakan di negeri ini.
Kondisi itu mengakibatkan kejadian penyakit tak menular pemicu kematian tahun 2005-2016 meningkat. Data beban penyakit menunjukkan, stroke, misalnya, pada periode itu naik 11,5 persen, penyakit jantung naik 7 persen, diabetes melitus naik 21,6 persen, dan penyakit ginjal kronis naik 6,4 persen.
Menurut Kosen, tak ada jalan lain selain berupaya sungguhsungguh menurunkan faktor risiko penyakit tidak menular melalui cara yang tepat. Sebab, jika tidak dicegah sejak awal, angka penyakit tidak menular di kemudian hari akan tetap besar dan membebani pembiayaan kesehatan.
Sementara itu, penulis utama studi On the Road to Universal Health care in Indonesia 1990-2016 sekaligus board member dari IHME, Nafsiah Mboi, memaparkan, pengetahuan tentang penyakit yang menyebabkan kematian dan disabilitas semakin maju.
Hasil-hasil studi kesehatan masyarakat juga sudah diadopsi dalam rencana pembangunan. Selanjutnya, tinggal sejauh apa kemauan politik pemimpin pemerintahan dalam mengalokasikan sumber daya untuk mengatasi masalah kesehatan.
Untuk itu, pemerintah perlu berinvestasi dalam segala hal, mulai dari fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, obat, sarana penunjang, sistem, dan kelembagaan. Pendekatan yang dilakukan pun harus holistik dan menyesuaikan dengan siklus kehidupan.
Cakupan jaminan kesehatan semesta yang ditargetkan tercapai 1 Januari 2019 bukan hanya mencakup kepesertaan fisik dan kegiatan kuratif. Semua peserta harus mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan berkualitas.
Selain itu, agar pengendaliannya holistik atau menyeluruh, jaminan kesehatan tak hanya aspek kuratif, tetapi juga harus menyentuh aspek pencegahan penyakit, promosi kesehatan, diagnosis, dan rehabilitasi. Hal ini selama ini dinilai terabaikan. ”Beban penyakit di usia tua muncul disebabkan status kesehatan usia muda terabaikan,” kata Nafsiah.