Mengurai Sengkarut Pasal Tipidsus di RKUHP
Masuknya pasal tindak pidana khusus ke dalam RKUHP menuai keberatan sejumlah pihak, termasuk KPK. Hingga kini belum ada titik temu soal perlu tidaknya aturan khusus itu di KUHP.
Pertanyaan mendasar yang mengusik benak publik sebenarnya ialah dari mana ide memasukkan pasal-pasal tindak pidana khusus, termasuk aturan antikorupsi, itu ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana? Mengapa pasal-pasal yang telah diatur dalam ketentuan yang lebih khusus berupaya diatur kembali dalam KUHP?
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dilakukan sejak 1964 dengan berubah-ubah tim perumus. Dalam draf yang dihasilkan tim perumus yang diketuai Prof Mardjono Reksodiputro tahun 1987, lanjutan tim pimpinan Prof Oemar Seno Adjie dan Prof R Soedarto tahun 1982, tidak ada pembahasan untuk membuat bab tindak pidana khusus (tipidsus) di dalam RKUHP.
Hasil kerja tim pimpinan Prof Mardjono itu sendiri telah diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh tahun 1993 (Kompas, 18 Maret 1993). Namun, hasil rumusan itu tidak berlanjut. Rumusan hasil pemikiran tokoh-tokoh hukum itu entah ke mana karena setiap kali Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (dulu Menteri Kehakiman) berganti, upaya merumuskan kembali RKUHP selalu menjadi cita-cita utama.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah mengemukakan, saat dirinya menjadi anggota tim perumus pembahasan RKUHP di bawah pimpinan Prof Mardjono, tidak ada pembahasan mengenai bab tipidsus. Kalaupun sekarang ada upaya memasukkan sejumlah ketentuan tipidsus ke dalam RKUHP, Andi Hamzah mempertanyakan relevansinya. Sebab, pasal-pasal tentang korupsi yang sekarang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada dasarnya mengadopsi atau mengelaborasi dari pidana umum yang telah ada atau sudah diatur di dalam KUHP.
”UU Pemberantasan Tipikor yang sekarang ini mengambil 13 pasal dari KUHP, yakni Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435. Pasal-pasal tersebut diformulasikan menjadi ketentuan khusus mengenai korupsi. Selanjutnya, formulasi tentang korupsi yang mengambil dari ketentuan umum di dalam KUHP itu dituangkan ke dalam UU Pemberantasan Tipikor. Jadi, korupsi itu sudah ada ketentuan umumnya di dalam KUHP. Tindak pidana jabatan seperti diatur di dalam pasal-pasal itu (13 pasal tersebut) adalah tindak pidana korupsi,” kata Andi Hamzah, Rabu (13/6/2018), yang dihubungi dari Jakarta.
Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang atau suap yang dilakukan penyelenggara negara atau pejabat, menurut Andi Hamzah, adalah konsepsi korupsi yang khusus di Indonesia. Tipikor sebagaimana dielaborasikan dengan melihat konsepsi dari 13 pasal KUHP tersebut, oleh karena itu, khas Indonesia. Definisi korupsi diberi batasan jelas, yakni ada kerugian keuangan negara.
”Pengaturan korupsi dalam Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor tentang perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi serta Pasal 3 yang mengatur penyalahgunaan kewenangan atau jabatan benar-benar khas Indonesia. Di negara lain, tidak ada yang mengatur korupsi itu harus berkaitan dengan kerugian keuangan negara,” katanya.
UU Pemberantasan Tipikor itu disadari masih mengandung kelemahan sehingga perlu direvisi. Sebuah tim pernah dibentuk pemerintah untuk merevisi UU tersebut. Andi Hamzah menjadi ketuanya. Pada 2009, draf revisi UU Pemberantasan Tipikor itu telah diserahkan kepada Menkumham Andi Mattalatta. Namun, ketika menteri dijabat Patrialis Akbar, pembahasan revisi UU itu mandek.
”Saya dorong KPK menanyakan rumusan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu kepada pemerintah. Kenapa hasil kerja tim tidak ditindaklanjuti dan seolah hilang saja pada masa Patrialis. Di dalam revisi itu juga telah dimasukkan pasal-pasal yang mengadopsi konvensi internasional tentang antikorupsi (UNCAC) dan secara khusus juga kami atur mengenai tindak pidana jabatan,” kata Andi Hamzah.
Berbeda pendapat
Konvensi internasional tentang antikorupsi, menurut tim panitia kerja pemerintah, telah dirumuskan di dalam RKUHP. Masuknya pasal-pasal antikorupsi ke dalam RKUHP dijamin tidak akan melemahkan pemberantasan korupsi, tetapi malah menguatkan. Lima pasal yang akan diadopsi ke dalam RKUHP adalah Pasal 2, 3, 5, 11, dan 13 UU Pemberantasan Tipikor. Pasal-pasal itu dinilai mengatur tentang ketentuan umum atau core crime (tindak pidana pokok) korupsi.
”UU Pemberantasan Tipikor juga tidak dicabut atau masih berlaku,” kata Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Enny Nurbaningsih.
Mantan Menteri Kehakiman Muladi, yang juga anggota tim panitia kerja RKUHP pemerintah, menambahkan, pasal-pasal itu diperlukan sebagai bridging atau jembatan yang mengaitkan antara pidana pokok korupsi yang diatur di dalam KUHP dan UU Pemberantasan Tipikor yang bersifat khusus. Sebelum ada ketentuan khusus, harus ada ketentuan umum di dalam KUHP.
Kalaupun sekarang ada upaya memasukkan sejumlah ketentuan tipidsus ke dalam RKUHP, Andi Hamzah mempertanyakan relevansinya. Sebab, pasal-pasal tentang korupsi yang sekarang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada dasarnya mengadopsi atau mengelaborasi dari pidana umum yang telah ada atau sudah diatur di dalam KUHP.
Logika ini dipertanyakan KPK yang merasa secara teknis akan kesulitan mengaplikasikan dua UU tersebut. Di satu sisi ada KUHP yang mengatur korupsi dan di sisi lain ada UU Pemberantasan Tipikor yang masih berlaku atau belum dicabut. Pasal 729 atau ketentuan peralihan RKUHP yang diklaim tim panitia kerja pemerintah bisa menjamin KPK melaksanakan tugasnya belum sepenuhnya meyakinkan bagi lembaga antirasuah tersebut. Rumusan itu menegaskan, lembaga-lembaga yang menangani tipidsus tetap bisa menangani tipidsus yang diatur di dalam KUHP.
Rumusan Pasal 729 berbunyi, ”Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan Bab tentang Tindak Pidana Khusus dalam undang-undang ini tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam undang-undang masing-masing.”
Menyimak bunyi pasal tersebut, menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, ketentuan tipidsus di dalam KUHP yang harus dijalankan KPK bukan UU Pemberantasan Tipikor. Padahal, UU Pemberantasan Tipikor belum dicabut. KPK pun keberatan dengan sanksi atau ancaman pidana yang diatur di dalam RKUHP lantaran lebih rendah daripada UU Pemberantasan Tipikor. KPK tetap pada sikapnya yang tidak menginginkan delik antikorupsi diatur di dalam KUHP.
Dalam pertemuan terakhir di kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, beberapa waktu lalu, belum ada titik temu yang bisa diperoleh di antara tim panitia kerja pemerintah, DPR, dan KPK. Pemerintah dan DPR selaku pembuat UU menginginkan ada bab tipidsus di dalam KUHP. Masuknya pasal-pasal tipikor ke dalam RKUHP dengan demikian adalah kebijakan politik hukum pemerintah dan DPR.
Pertanyannya, apakah hal itu tepat di tengah-tengah upaya negara memberantas korupsi dan apakah hal itu juga sudah sesuai dengan amanat reformasi?
Pembuat legislasi perlu dengan bijak menimbang keuntungan dan kerugian dari masuknya pasal-pasal tipidsus ke dalam RKUHP. Tim perumus juga perlu menilik kembali sejarah pembentukan UU Pemberantasan Tipikor yang ternyata formulasi ketentuannya diambil atau merujuk pada pasal-pasal pidana umum di dalam KUHP. Jika ternyata korupsi sudah ada ketentuan umumnya di dalam KUHP, lalu untuk apa lagi memasukkan pasal-pasal korupsi ke dalam KUHP?
Pembahasan tentang pasal-pasal tipidsus ke dalam RKUHP itu dijanjikan untuk kembali dibahas seusai Lebaran. Publik berharap momen itu dimanfaatkan secara sungguh-sungguh oleh tim perumus dari pemerintah, DPR, dan melibatkan juga KPK sehingga diperoleh jalan keluar dalam persoalan ini.
Namun, rencana pemerintah dan DPR untuk melanjutkan pembahasan RKUHP sepertinya menemui tantangan. Partai-partai begitu pula dengan kadernya yang duduk di parlemen akan sibuk mempersiapkan Pemilu 2019.
Cita-cita dekolonialisasi hukum pidana nasional pun kembali tertunda. Namun, hal itu juga memberi kesempatan untuk para pihak duduk kembali membahas kembali pasal-pasal tipidsus. Ini penting supaya jangan sampai dekolonialisasi KUHP malah gagal lantaran kitab hukum pidana yang baru ternyata masih bercita-rasa kolonial, yang antara lain dicirikan dengan ketimpangan hukum dan korupsi yang merajalela.