Suminten (55) bersama anaknya, Danu (33), untuk kali pertama datang ke kantor Panitia Pengawas Pemilu Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (29/6/2018). Mereka membawa cerita tentang dugaan praktik politik uang lengkap dengan dua lembar uang tunai Rp 50.000.
Pagi itu, Rabu (27/6/2018) sekitar pukul 07.00, sebelum ke tempat pemungutan suara dalam pemilihan wali kota dan wakil wali kota Cirebon, Suminten kedatangan tamu. ”Saya lagi menjemur, terus Pak RT datang dan kasih uang Rp 50.000 dua lembar untuk anak saya juga. Katanya, pilih nomor ini,” ujar warga Kelurahan Karyamulya, Kecamatan Kesambi, itu dalam bahasa Cirebon.
Ia pun menerima uang tersebut dan memberikannya ke Danu sebelum pergi mencoblos. ”Saya juga enggak ngerti. Terima saja,” ucapnya polos.
Dua hari berlalu, Danu dan Suminten melaporkan hal tersebut ke Panwas Kota Cirebon. Mereka datang didampingi beberapa kerabat. ”Ini (pemberian uang) salah. Uangnya belum dibelanjakan. Saya melapor sekarang setelah bicara sama kakak. Saya juga sibuk kerja kemarin,” ungkap Danu yang bekerja sebagai kuli bangunan.
Laporan dugaan praktik politik uang tersebut merupakan yang kesekian kali. Politik uang, yakni memberikan uang untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih, juga dikenal dengan serangan fajar karena terjadi malam hingga fajar menjelang pencoblosan.
Berdasarkan Pasal 73 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Dalam Pasal 187, jika terbukti, pelaku praktik politik uang akan dikenai hukuman minimal 36 bulan penjara dan maksimal 72 bulan penjara dan denda minimal Rp 300 juta.
Panwas Kota Cirebon dalam kurung waktu 24 jam dari Selasa hingga hari pencoblosan, Rabu, menerima tiga laporan terkait politik uang. Politik uang dilaporkan terjadi di RW 009 Kecamatan Pekalipan.
Menurut anggota Panwaslu Kota Cirebon, Mohamad Joharudin, seorang oknum warga berinisial BD membagikan uang kepada warga dengan memberikan simbol jari terkait nomor salah satu pasangan calon.
Hal tersebut lalu dilaporkan ke Panwas kecamatan setempat. ”Kami sudah memanggil yang bersangkutan. Dia mengakui itu untuk politik uang. Kami juga menyita uang tunai Rp 450.000. Rinciannya, Rp 50.000 untuk seorang ibu, dan lima warga akan menerima masing-masing Rp 80.000. Kasus ini dibawa ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu Kota Cirebon,” ujar Joharudin.
Laporan kedua terkait pembagian bola voli, net, kopi instan, dan baju yang mencerminkan salah satu pasangan calon, Selasa malam, di Pronggol, Kelurahan Pegambiran. Namun, Panwaslu masih mencari keterangan saksi lain.
Adapun laporan ketiga terkait dugaan pembagian uang jelang pemungutan suara calon wali kota dan wakil wali kota Cirebon, Rabu subuh, di Cangkol. Panwaslu masih mendalami laporan tersebut dan akan memberikan keputusan dalam tujuh hari sejak laporan diterima.
Selain warga, tim sukses salah satu pasangan calon juga melaporkan dugaan praktik uang kepada Panwaslu. ”Kami tidak bisa menolak siapa pun untuk melapor. Silakan saja, selama masih ada bukti,” ujar Joharudin.
Pilkada Kota Cirebon diikuti oleh dua pasangan calon, yakni Bamunas Boediman-Effendi Edo serta petahana Nasrudin Azis-Eti Herawati. Mereka bertarung memperebutkan sekitar 240.000 suara warga di kota yang luasnya hanya 37,38 kilometer persegi tersebut. Pada Pilkada 2013, partisipasi pemilih hanya sekitar 65 persen.
Lalu, apakah deretan laporan dugaan praktik uang tersebut dapat menggambarkan bahwa kecurangan membelenggu pilkada ”Kota Wali”? ”Laporan tersebut menandakan bahwa warga sudah cerdas dan tidak mau suaranya yang menentukan nasib Kota Cirebon lima tahun ke depan dihargai dengan uang Rp 100.000, Rp 200.000, atau bahkan Rp 1 juta,” ujar Ketua Panwaslu Kota Cirebon Susilo Waluyo.
Amapesa ing bina baton. Artinya, jangan serakah atau berangasan dalam hidup.
Namun, Susilo juga mengakui, laporan itu menunjukkan sulitnya menghilangkan praktik politik uang yang menghalalkan segala cara merebut kekuasaan. ”Pengalaman pilkada sebelumnya, kami juga menerima laporan praktik politik uang,” ujarnya.
Padahal, Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon yang juga salah satu wali sanga pada abad ke-15, mengajarkan amapesa ing bina baton. Artinya, jangan serakah atau berangasan dalam hidup. Pemimpin yang serakah akan kekuasaan akan menyengsarakan rakyat, bersikap tiran dan otoriter (Eman Suryaman: Jalan Hidup Sunan Gunung Jati, 2015).
Praktik politik uang menunjukkan masih ada upaya dari sejumlah orang yang tidak bertanggung jawab untuk membeli suara rakyat. Bukankah suara rakyat suara Tuhan, vox populi vox dei? Siapa yang berani dan dapat membeli suara Tuhan di Cirebon yang merupakan pusat penyebaran agama Islam di Tanah Sunda?