Kematian seekor paus pilot di Thailand beberapa waktu lalu menjadi berita utama sejumlah media dunia. Kematiannya sangat mengenaskan, di dalam perut binatang laut itu ditemukan 80 kantong plastik. Kematian serupa ditemukan pada kura-kura yang hidup di sekitar Pulau Natal. Plastik-plastik menyumbat usus, memerangkap gerak mereka. Kura-kura di pulau itu tidak bisa menyelam lebih dalam dan terpaksa berenang di atas, yang berarti rawan dimangsa predator.
Ilustrasi di atas hanyalah sedikit dari banyak temuan tentang bahaya plastik bagi kehidupan laut saat ini. Sampah plastik di pantai putih sekitar Pulau Natal, pekan lalu, dikabarkan menumpuk. Yang terbanyak adalah kantong-kantong plastik dan wadah makanan dari plastik. Relawan yang terjun membersihkan sampah itu dalam beberapa hari saja bisa mengumpulkan 1,5 ton.
Program Lingkungan PBB mengatakan, dalam setahun, 8 juta ton sampah plastik menumpuk di lautan, membunuh kehidupan laut. Dalam laporannya beberapa waktu lalu, sejumlah negara di Asia Tenggara merupakan penyumbang sampah plastik terbesar. Indonesia ada di antara negara-negara yang disebut bersama Thailand, Vietnam, dan India.
Larangan China
China sebagai negara pengolah sampah plastik terbesar membuat regulasi baru yang akan berdampak besar bagi banyak negara. Pemerintah negara itu melarang impor sampah yang selama ini digunakan untuk memproduksi pelet plastik. Padahal, ini merupakan bisnis besar yang sudah lama dilakukan banyak pengusaha di China serta menjadi andalan negara-negara Eropa dan Amerika untuk membuang sampah-sampah mereka. Dalam setahun, China menerima 7 juta ton sampah untuk diolah. Sekitar 1.000 perusahaan selama bertahun-tahun mengambil keuntungan dari bisnis sampah.
Dengan teknologi buatan sendiri, pengusaha mendaur ulang benda-benda buangan itu, kemudian digunakan untuk membuat benda-benda lain.
Jumlah sampah impor China memang tak main-main. Sebuah studi mengungkapkan, material yang diimpor sejak 1992 itu berjumlah lebih dari 116 juta ton. Atau kalau mau dibandingkan, ini setara dengan berat lebih dari 300 gedung Empire State di AS.
Taicang Jinhui Recycling Co, misalnya, mempekerjakan 400 orang. Dengan kebijakan baru yang dikeluarkan pada Juli lalu, perusahaan ini sudah merumahkan 250 orang. Sebagaimana beberapa perusahaan lain, Taicang sudah menyiapkan pabrik pengganti di Malaysia dan mempekerjakan 600 orang Malaysia. Asosiasi Pengolahan Plastik China (CSPA) mengatakan menginvestasikan sekitar 1,54 miliar dollar AS di luar China. Pengusaha berharap pengolahan di luar setidaknya bisa mendaur ulang hingga kapasitas 4 juta ton.
Untuk sementara pemindahan lokasi bisa memecahkan masalah yang dihadapi negara-negara Eropa. ”Kami terus mengekspor jumlah yang signifikan,” kata Roger Baynham, Kepala Divisi Daur Ulang Federasi Plastik Inggris.
Namun, kekhawatiran muncul karena ke depan bisa jadi negara-negara lain di Asia membuat kebijakan serupa. Thailand, umpamanya, memperketat regulasinya dan menaikkan pajak impor. Sementara Malaysia untuk sementara menghentikan izin permohonan impor baru pada pertengahan Mei.
Di tengah kekhawatiran, kata Baynham, ada hikmah yang bisa diambil. Negara-negara pengekspor (sampah) pada akhirnya harus mencari cara meningkatkan upaya daur ulang. ”Ini merupakan lonceng peringatan. Secara historis kita bergantung pada China untuk mendaur sampah dan kini mereka mengatakan tidak,” kata Amy Brooks dari University of Georgia.
Dampak larangan impor sampah di China memang dahsyat. Kalau tidak ada upaya dalam mengurangi sampah plastik, sampai tahun 2030 harus dicari negara-negara yang bisa menjadi tempat pembuangan 112 juta ton sampah plastik.
Negara maju dan Afrika
Negara-negara maju sudah lama memberi perhatian terhadap sampah plastik. Uni Eropa (UE) mencanangkan strategi baru dengan menargetkan semua kemasan di pasar UE akan bisa didaur ulang pada tahun 2030.
Dalam rilis persnya awal tahun ini, Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans yang bertanggung jawab atas pembangunan berkelanjutan mengatakan, ”Kalau kita tidak mengubah cara memproduksi dan menggunakan plastik, akan ada lebih banyak plastik dari ikan pada tahun 2050.”
Dengan strategi barunya, UE akan membuat daur ulang yang menguntungkan bisnis serta mendorong investasi dan inovasi. Lebih jauh UE ingin bekerja sama dengan seluruh dunia untuk mencari solusi global. ”Kami akan melanjutkan dukungan kepada pihak lain sebagaimana yang sudah kami lakukan dengan membersihkan Sungai Gangga di India,” demikian rilis dari UE.
Lima dari tujuh negara yang tergabung dalam G-7 bulan ini menandatangani piagam baru untuk membatasi polusi plastik.
Parlemen Jepang secara aklamasi baru saja meloloskan RUU tentang sanksi bagi pembuat polusi sampah. Langkah ini dimaksudkan untuk mendorong bisnis agar mengurangi pemakaian mikroplastik, termasuk partikel kecil yang digunakan untuk mengelupas krim dan produk kosmetik lain.
Untuk masalah plastik ini, rasanya hampir semua pemimpin dunia menyampaikan keprihatinan, tetapi langkah konkretnya berpulang kepada setiap negara.
Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan komitmennya bagi pengurangan plastik dengan mencanangkan rencana 25 tahun ke depan. Pemerintah, antara lain, akan mendesak supermarket membangun ”lorong-lorong bebas plastik” dengan barang-barang tanpa kemasan. Pemerintah akan memperluas pengutipan 5 sen per kantong plastik untuk pengecer.
Negara-negara Afrika tak kalah galak dalam upaya memerangi plastik. Lebih dari 40 negara di Afrika timur ikut memerangi kantong plastik. Rwanda memelopori larangan memproduksi, menggunakan, mengimpor, dan menjual kantong plastik sejak tahun 2008. Sementara Mauritania yang memberlakukan larangan penggunaan kantong plastik tahun 2013 menyatakan, hampir 70 persen sapi dan domba di ibu kota mati karena makan plastik. Negara-negara lain, seperti Senegal, Uganda, Kamerun, Mali, Tanzania, dan Ethiopia tak mau ketinggalan.
Langkah paling besar dilakukan Kenya yang tahun lalu memberlakukan ketentuan sangat keras tentang kantong plastik. Benda itu dinyatakan ilegal. Pemerintah negara ini tampaknya sudah begitu geregetan dengan penggunaan kantong plastik yang begitu meluas.
Undang-undang bahkan membolehkan polisi mengejar seseorang yang membawa kantong plastik. Disebutkan, produsen, penjual, atau pengguna bisa dipenjara hingga empat tahun atau denda 40.000 dollar AS.
Namun, menteri lingkungan Kenya mengatakan, penindakan terutama ditujukan kepada pabrik dan para penyuplai.
(AFP/AP/REUTERS/RET)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.