Ulama Diajak Aktif Berdakwah di Medsos
Para kiai dan nyai dari sejumlah pondok pesantren di Jawa diajak untuk membangun narasi kontraradikalisme di media sosial dan internet.
JAKARTA, KOMPAS- Di era membanjirnya arus informasi melalui internet dan media sosial, kalangan pondok pesantren yang bergerak di domain pendidikan agama dengan pendekatan tradisional terus berbenah diri untuk menghadapi tantangan radikalisme. Para kiai dan nyai atau ulama tradisional di kalangan pesantren terus didorong untuk aktif menulis serta menyampaikan ajaran agama yang penuh kasih dan rahmat bagi seluruh alam.
Upaya untuk mendorong para ulama berbasis pesantren tradisional itu antara lain dilakukan Pusat Studi Pesantren (PSP) yang dalam empat hari ke depan menggelar halakah atau pertemuan antarulama yang melibatkan 50 ulama dari 30 pesantren tradisional di seluruh Jawa di Puncak, Bogor, Jawa Barat.
Halakah bertema ”Jihad Melawan Radikalisme dan Terorisme” itu akan dibagi menjadi dua forum besar, yakni kelompok ulama dan penulis bertema Islam. Selain berdiskusi dan berkonsolidasi menghadapi paham-paham radikal dan terorisme, keduanya akan berpraktik langsung membangun narasi di media sosial dan internet dengan membuat tulisan dan video atau vlog.
”Halakah ini bertujuan mendorong kalangan pesantren agar turut ambil bagian dalam melawan radikalisme dan terorisme,” kata Khoitul Anam, panitia halakah yang juga pengurus PSP, Jumat (29/6/2018). Halakah dibuka Kamis dan akan berlangsung hingga Minggu.
Dalam halakah tersebut, para kiai dan nyai akan dilatih berpraktik langsung membuat akun media sosial, seperti Twitter, Facebook, Instagram, Youtube, dan blog. Mereka didorong menuangkan pengetahuan agama mereka melalui berbagai medsos guna terus menaikkan narasi-narasi keagamaan yang kontraradikalisme dan terorisme.
Anam mengatakan, media sosial dan internet tidak bisa dimungkiri telah menjadi wahana baru pertukaran gagasan sekaligus ruang bagi berbagai pandangan untuk merebut perhatian khalayak atau audiens, termasuk mereka yang sedang belajar agama. Ruang itu sebisa mungkin diolah sehingga tidak diisi pandangan-pandangan keagamaan yang keras, intoleran, radikal, dan sarat ujaran kebencian.
”Tidak mudah mengajak para kiai dan nyai dari pesantren tradisional yang terbiasa duduk berjam-jam berdakwah dan mengajar di hadapan ribuan santri untuk memindahkan sarana dakwahnya itu ke internet. Namun, gerakan ini harus dimulai untuk melawan tafsir keagamaan yang kaku dan radikal,” katanya.
Penguasaan media
Sholahuddin Mukhsin, pengajar dari Ponpes Al-Mustaqiem, Jepara, Jawa Tengah, menuturkan, penguasaan media menjadi satu keharusan bagi ulama pesantren. ”Konten media harus diisi oleh narasi-narasi tentang Islam yang rahmatan lil alamin. Bagi kami, ini jihad al-akbar atau jihad besar untuk melawan radikalisme dan terorisme. Tradisi menulis di kalangan ulama pesantren harus ditumbuhkan lagi untuk mewujudkan narasi tersebut,” katanya.
KH Mustofa Bisri dari Rembang, Jawa Tengah, atau Gus Mus, menurut Sholahuddin, merupakan contoh ulama dari pesantren yang mampu menulis tidak hanya di media arus utama, tetapi juga menyebarkan pesan-pesan kedamaian melalui medsos. Jutaan orang telah mengikuti akun medsos Gus Mus. Pesan-pesan yang rendah hati dari Gus Mus menjadi antitesis bagi ujaran kebencian yang berserakan di medsos.
Mantan Direktur Eksekutif Wahid Institute Ahmad Suaedy mengatakan, ulama adalah representasi otoritas keagamaan di masyarakat. Otoritas itu kini mengalami delegitimiasi setelah maraknya internet dan medsos. Orang yang ingin belajar agama banyak memilih internet sebagai guru daripada berguru kepada ulama langsung. Sayangnya, informasi yang mereka peroleh dari medsos pun banyak yang keras atau radikal.