Presiden Republik Demokratik Timor Leste Francisco Guterres Lú Olo terlihat bahagia saat berada di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (28/6/2018). Lú Olo berterima kasih atas keramahtamahan Indonesia menyambutnya. Siang itu, pertama kali dia diperlakukan sebagai presiden pada kunjungan kenegaraan pertamanya sebagai kepala pemerintahan.
Mantan petinggi Partai Fretilin ini duduk bersama Presiden Joko Widodo pada jamuan kenegaraan. Tidak ada lagi pembicaraan konflik masa lalu saat jajak pendapat di eks provinsi ke-37 tersebut. Yang ada menyantap hidangan khas Indonesia. Lu\' Olo larut dalam kenikmatan pastel tutup, soto bandung, semur daging—karena Lú Olo tak makan ikan—dan hidangan penutup berupa cake apel malang.
Hidangan itu melengkapi penyambutan lain yang dilakukan kepada Lu\' Olo. Dengan kata-kata yang jelas, Lu\' Olo merasakan kehangatan penyambutannya. ”Terima kasih atas sambutannya yang luar biasa ini,” katanya saat memberi pernyataan kepada jurnalis.
Jamuan makan memang tak bisa dianggap sepele saat penyambutan tamu kenegaraan. Seorang diplomat senior Kementerian Luar Negeri menyampaikan, jamuan itu bagian dari diplomasi kuliner. Lewat makanan, Pemerintah Indonesia ingin mengenalkan kekayaan budaya Nusantara. Inilah yang sering kali disampaikan Presiden pada berbagai kesempatan.
Kepala Biro Umum Sekretariat Presiden Darmastuti Nugroho menyampaikan, menu untuk para tamu negara tak sembarangan dipilih. Sajian menu mempertimbangkan pantangan makanan tamu yang hadir sekaligus mengenalkan budaya Indonesia.
Pada jamuan kenegaraan kedatangan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Jumat kemarin, misalnya, Istana membuka jamuan dengan lumpia, kemudian nasi minyak dari Palembang, rendang, serta ditutup srikaya dan es puter. Mahathir pun merasa puas dengan sambutan Indonesia.
Satukan bangsa-bangsa
Jamuan tidak hanya meleburkan dua bangsa, tetapi juga satukan banyak bangsa. Salah satunya terjadi belum lama ini di sebuah restoran di area Kebun Raya Bogor. Presiden menjamu para tamu yang hadir saat konferensi wasatiyyat (jalan tengah) Islam bertajuk ”High Level Consultation of World Muslim Scholars on Wasatiyyat Islam”.
Bagi yang pertama kali ke Indonesia, acara makan siang ini begitu berharga. Paling tidak, acara itu dapat menjadi pengantar mengenal negeri yang punya keragaman budaya begitu tinggi. Pengalaman mereka melengkapi perkenalan Indonesia yang disampaikan Joko Widodo saat pembukaan konferensi pagi harinya di Istana Bogor, 1 kilometer dari restoran.
Setelah shalat Dzuhur berjemaah, para tamu bergerak ke restoran di area Kebun Raya Bogor. Di tempat itu, mereka disuguhi tahu goreng isi udang hangat sebagai pembuka. Tahu agak berbeda dengan yang biasa diisi sayur, garnis acar, dan saus sambal.
Pada menu utama, para tamu menikmati nasi goreng nanas, ayam taliwang, rendang, udang, telur asin, karedok, oseng-oseng, dan aneka macam sate. Di akhir jamuan, peserta menikmati es cendol, pisang goreng, dan buah potong. Sajian yang cocok kala Bogor diterangi terik matahari.
Menurut Darmastuti, menu dipilih untuk mengenalkan budaya Nusantara. Beberapa makanan memang mewakili daerah berbeda, misalnya karedok populer di Jawa Barat, rendang di masyarakat Sumatera Barat, dan ayam taliwang dari Nusa Tenggara Barat. Jadi, kata Darmastuti, keragaman budaya pun bisa dinikmati di meja makan.
Keragaman inilah yang dikenalkan Presiden saat membuka konferensi. Presiden menyatakan, rakyat Indonesia ingin perkenalkan diri. ”Indonesia negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Warga negara kami yang beragama Islam sekitar 210 juta dari total penduduk 260 juta. Ada 714 etnis, ada 1.100 bahasa lokal, yang tersebar di 17.000 pulau. Kami hidup dalam keberagaman suku, agama, dan budaya,” kata Presiden Jokowi.
Masakan Nusantara tidak hanya mewakili budaya, tetapi juga jadi saksi pertemuan para pihak yang sering dianggap ”berseberangan.” Siang itu, Helmy Faishal, Sekjen PBNU, yang hadir dalam jamuan, duduk di meja makan dengan Wakil Presiden Republik Islam Iran Bidang Wanita dan Urusan Keluarga Masoumeh Ebtekar. Di depannya ulama Arab Saudi. Meski pernah berseteru paham, keduanya akrab dan tak lagi membicarakan perbedaan. Masakan Nusantara menyatukan.
Tak salah jika Sam Chapple-Sokol, pemerhati kuliner lulusan Tufts University, Amerika Serikat, meyakini kuliner dapat dipakai sebagai alat diplomasi. Di situsnya, Sam menyatakan, jamuan kenegaraan juga sarana untuk mengurangi dan mengatasai berbagai konflik antarnegara.