Sebuah panggilan telepon di pagi hari memastikan kepergian GM Sudarta. Sang kreator tokoh kartun Oom Pasikom itu tutup usia hari Sabtu, 30 Juni 2018. ”Cukup lama tidak bernapas lagi,” kata suara dari jauh. Lalu terdengar lagi, sangat lirih, ”Kau telah berjalan ke tujuan yang lama kau impikan. Ke sanalah. Ke balik cakrawala.”
Ke balik cakrawala? Sebenarnya itu juga pertanyaan Sudarta kecil yang suka duduk di samping rel kereta di dekat rumahnya. Dari mana kereta itu datang dan ke mana akan pergi? Di manakah ujung dari sepasang batangan besi memanjang ini? Dunia seperti apa yang ada di balik ujung rel nun jauh di sana? Siapa mereka yang menumpang di gerbong yang padat dan kadang ada tangan yang keluar jendela untuk melambai? Apa yang mereka lakukan?
Kisah pergaulan dengan rel kereta itu kelak sering ia ceritakan kepada teman-teman, termasuk keinginannya menjadi masinis. Ketika beranjak dewasa, keinginan itu pudar, tetapi tak demikian dengan pertanyaannya. ”Saya selalu ingin bepergian, melihat tempat lain, bertemu penduduknya,” tuturnya tentang kerinduan yang dilunasinya dengan berbagai perjalanannya ke sejumlah negeri, banyak di antaranya di dalam rangka lawatan jurnalistik sebagai pekartun politik di surat kabar Kompas.
Meski sangat sering bepergian, bahkan tinggal lama, misalnya, di Jepang untuk mengajar, pertanyaan ”dari mana dan ke mana akan pergi” itu tak juga surut. Justru itulah yang selalu mengiringi hari-harinya sepanjang 50 tahun lebih membuat editorial cartoon untuk Kompas. Di balik penampilannya yang selalu rapi, baju lengan panjang dan celana kain sepenuhnya hitam, dan sikap siap bergurau, ”berha-ha-he-he”, GM Sudarta sebenarnya sering tercenung. Mungkin itu pembawaan sejak kecil, yang mendapat peluang untuk berkembang di masa dewasa, yang berpengaruh dalam karya kartunnya yang bernas, jitu menguliti masalah, dan menggelitik berkat daya humor tinggi.
Begitu lekatnya figur GM Sudarta dengan tokoh kartun Oom Pasikom sehingga sering cukup memanggil salah satu untuk membuatnya menengok. Manusianya memang satu. Figur yang lain bolehlah disebut sebagai semacam ”alter-ego”-nya.
”Saya semakin merasakan sahabat sejati saya ya Oom Pasikom ini. Kita sering tertawa bersama. Menertawakan kekonyolan kita sendiri. Kita sering menangis bersama. Menangisi kekonyolan kita. Kekonyolan Indonesia,” tutur Mas Ge-eM, demikian panggilan akrabnya, dalam berbagai kesempatan berbeda.
Kekonyolan Indonesia itu membuatnya tidak bosan membuat kartun dengan berbagai masalah yang selalu berulang, sejak korupsi, salah urus pemerintahan, hukum yang tidak berkeadilan, pendidikan yang tertinggal, penguasa yang kurang mendengar jeritan rakyat, dan lainnya.
”Kesimpulan saya, bangsa Indonesia tak suka belajar dari sejarah, tak belajar dari kesalahan,” katanya sambil tertawa. ”Indonesia konyol, tetapi sungguh pantas untuk dicintai.”
GM Sudarta sebelum menemukan tokoh Oom Pasikom, ia membuat kartun humor ataupun politik lewat sosok yang dilucukan tanpa merujuk pada karakter yang menetap. Barulah pada 20 Februari 1971, sosok berjas dengan siku bertambal dengan topi baret itu muncul. Penampilan perdana itu menyoal ”kampanye kecap”.
Dibuat dalam empat panel, tampak si oom yang berjalan dalam hujan kaget ketika mencicipi tetesannya yang ternyata bukan air, melainkan kecap. Komentarnya, ”Pan belum musimnya kampanye pemilu.” Perlu diingat, kecap sudah masuk ke dalam wilayah simbolik di tengah pergaulan politik sejak puluhan tahun yang lalu, yaitu sebagai cara untuk melebih-lebihkan nilai produk, seperti tertera dalam botol kemasan yang diiring tulisan ”kecap nomor 1”.
Ternyata setiap kali pemilu, kecap di dalam berbagai variannya terus beredar. Pilkada serentak yang baru dilaksanakan tentu merupakan ajang pamer kecap-kecapan itu. ”Di seputar pemilu selalu heboh, gaduh, menyenangkan sekaligus menggelikan melihat tingkah polah politisi dari yang malu-malu sampai yang malu-maluin. Semua mendaku bekerja sepenuhnya untuk rakyat. Kita tahu, sesudah kemenangan diraih, rakyat umumnya tak mengalami perbaikan nasib. Pemilih itu juga tidak belajar dari sejarah,” tutur GM Sudarta.
Korupsi mencolok
Soal korupsi secara mencolok adalah tema yang sering berulang dia komentari. Pada 7 September 1968 muncul kartun bergambar seorang petugas antikorupsi berkejaran dengan koruptor di atas ban berjalan. Hampir setengah abad kemudian, 16 September 2017, terbitlah kartun yang berisi petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencokok tersangka korupsi dalam riuh sorak- sorai dan dukungan negatif wakil rakyat. Penampilan terakhir kartun Oom Pasikom di Kompas.
Sepanjang kariernya di Kompas, GM Sudarta menghasilkan ribuan kartun yang menggelitik dan mengundang senyum. Lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah, itu terdidik di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta, kini Institut Seni Indonesia (ISI). Dia mengartun melewati masa pemerintahan enam presiden. Ini perjalanan yang sangat panjang sebab GM Sudarta menanganinya sendirian.
Tampaknya raganya tak cukup kuat menanggung tugas yang begitu berat. Ia semakin rapuh dan sakit cukup lama.
Untuk mengalihkan perhatian dan menghibur diri, biasanya GM Sudarta bermain gitar. Di ruang Redaksi Kompas, tempat ia menggambar kartun, selalu tersedia gitar akustik. Ia suka memainkan sejumlah nomor yang dikenal dalam khazanah gitar tunggal rasa klasik sampai yang gaya spanyolan seperti ”Asturias”.
Bermain alat musik menunjukkan sisi lain dunia kreatif GM Sudarta. Ia sejak 1980 juga menulis puisi dan cerita pendek (cerpen). Kumpulan puisi ”Hidup adalah Jendela yang Terbuka” (1980) dan kumpulan cerpennya, ”Bunga Tabur Terakhir” (2010), dan beberapa cerpennya yang pernah dimuat Kompas, menunjukkan empatinya pada manusia yang dipermainkan oleh nasib.
Usia manusia mungkin pendek, tetapi karya seni akan bertahan jauh lebih panjang. Selamat jalan Mas GM Sudarta.